Indra Dwi Prasetyo

Catatan Atas Prestasi-Prestasi…

Catatan Atas Prestasi Prestasi

Akhir April 2023 yang lalu, Gmail saya kemasukan pesan masuk dari seseorang yang tidak saya kenal. Ternyata dari Australia Awards dan Australian Embassy di Indonesia.

Isi emailnya, kurang lebih, meminta kesediaan saya untuk menjadi salah satu dari tujuh puluh (70) alumni “berprestasi” Australia yang fotonya akan dipajang di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kegiatan ini dilakukan untuk memperingati 70 tahun beasiswa Australia yang diberikan ke Indonesia–dulunya Colombo Plan kemudian berubah menjadi Australia Awards belakangan.

Tak ada pikir panjang, saya menyetujui.

 

Permintaan menjadi 1 dari 70 alumni berprestasi australia
Permintaan menjadi 1 dari 70 alumni berprestasi australia

Saya pun melakukan sesi foto bersama dengan 70 alumni Australia hehat lainnya. Sebut saja, Najwa Shihab, Emil Dardak, Bima Arya dan sejumlah tokoh lain yang, menurut saya di hati terdalam, hebat banget jika disandingkan dengan anak kemarin sore seperti saya.

Berfoto di Penghargaan 70 Alumni Australia
Berfoto di Penghargaan 70 Alumni Australia

**

Saya tarik waktu kembali ke awal Oktober tahun lalu, 2022. Saya juga tiba-tiba dikontak orang yang tidak saya kenal sebelumnya. Berbeda dengan Australia yang mengontak melalui E-mail, kali ini saya dikontak melalui Whatsapp.

Usut punya usut, ternyata dari Kemenpora.

Perwakilan dari Kemenpora tersebut menyebut, bahwa saya dinominasikan oleh Kemenpora menjadi Pemuda Berprestasi Internasional Kemenpora 2022.

Belum sampai di situ, penganugerahan tersebut akan dilakukan secara nasional di tengah IKN–Ibu Kota Negara yang baru di Hari Sumpah Pemuda.

What a piece of news!

Lagi, tanpa pikir panjang, sayapun mengiyakan nominasi tersebut. Terbanglah saya ke Kaltim beberapa waktu kemudian.

Menjadi Pemuda Berprestasi
Menjadi Pemuda Berprestasi

Berawal dari Hatta

Sejujurnya, saya gak ada mimpi untuk mendapatkan penghargaan-penghargaan tersebut, juga beragam penghargaan yang selama ini saya dapatkan beberapa tahun ke belakang. Serius, tidak ada.

Satu-satunya mimpi yang masih saya ingat dulu adalah ketika membantu Mamak ketika sedang berjualan (iya Mamak dan Bapak membuka kantin untuk biaya kuliah S1 saya, saya akan ceritakan di lain waktu), saya bilang

“Mak, aku mau bisa ke luar negeri. Biar kayak Hatta yang kuliah di Belanda. Aku juga mau kuliah di Belanda”

Omongan itu saya ucapkan ketika kira-kira saya di semester 1 atau 2 kuliah.

Berfoto di Kamar Bung Hatta pada 2012
Berfoto di Kamar Bung Hatta pada 2012

Setelah omongan itu, nyaris tidak ada mimpi apapun soal prestasi. Yang penting: ke luar negeri.

Bagi anak kampung seperti saya yang tumbuh kembang di kota kecil di Kalimantan Barat, keluar negeri adalah sebuah kenikmatan. Hebat betul rasanya!

Belajar, Belajar, Belajar

Nyaris setelah omongan tersebut, semangat saya untuk belajar semakin menjadi-jadi. Kerjaan saya nyaris hanya belajar, baca buku, diskusi, organisasi, belajar lagi. Begitu saja

Membosankan emang jika dibayangkan. Tapi, jujur, saya berada pada posisi yang tidak memiliki pilihan. Kuliah sebaik-baiknya dari uang Mamak Bapak berjualan, atau tidak kuliah sama sekali kemudian mencari kerja.

Dari semester 1-4 saya habiskan waktu saya untuk melakukan hal-hal yang membosankan tersebut di atas: belajar, belajar, belajar.

Ratusan buku (bajakan) saya baca. Pokoknya, kerjaan saya, baca, nulis, diskusi, organisasi. Repeat. Dan emang benar, semua kerja keras dan doa orang tua adalah kunci terbaik.

Beragam lomba, beasiswa dan exchange mulai bertubi-tubi hadir. Nyaris, hampir setiap bulan, saya mengikuti kegiatan, baik itu lomba, pertukaran pemuda, pertukaran pelajar. Baik di level kampus, regional, nasional hingga internasional.

Saking asyiknya saya dengan dunia seperti itu, suatu hari ketika saya terpilih mewakili Indonesia ke Korea Selatan, saya WA Mamak di rumah.

“Mak, alhamdulillah, lolos ke Korea dan berangkat bulan depan”, kataku.

“Udah, mamak udah bangga dari dulu. Sekarang, selesaikan skripsimu!” jawab Mamak kayaknya sambil marah karena anaknya yang gak lulus-lulus karena udah semester 9.

Form is Temporary, Class is Permanent

Selepas S1, saya melanjutkan studi ke Australia. Tepatnya, di Monash University. Nah, di sanalah kedewasaan saya ditempa. Diapit oleh profesor-profesor dunia, akademisi-akademisi bernas, saya mulai kembali menemukan diri saya sendiri

“Semakin berisi, semakin merunduk” 

Mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan saya di sana. Banyak orang yang jauh lebih hebat dari saya, dan tidak hanya di level Indonesia. DUNIA.

sudut kampus Monash University
sudut kampus Monash University

Di Australia, saya belajar tentang form and class.

Prestasi itu form, bentuk, peristiwa.

Class itu kualitas, standard, determinasi.

Ketika saya S1, saya banyak sekali mengerjakan sesuatu karena mengejar prestasi. Belajar dengan keras agar mendapatkan prestasi tertentu.

Di kepala saya, bagaimana caranya agar saya mendapatkan piala tesebut. Menjadi juara tersebut. Begitu terus.

Namun di Australia berbeda. Saya diajarkan untuk melakukan sesuatu karena emang kelas kita berada di titik tersebut. Saya diminta membaca jurnal dan buku yang banyak, bukan untuk mendapatkan Awards, tapi emang kelas saya sudah di sana!

Di titik inilah saya belajar bahwa form itu benar-benar sementara. Selepas dari mendapatkan awards, terus apa? Namun, class itu lebih permanen. Mereka yang rutin membaca dan menulis, misal, 1 buku per minggu, akan sulit untuk di downgrade ke level di bawahnya. Karena kelasnya sudah di set-nya tinggi.

Itulah beda form and class.

Ketika dan setelah pulang dari Australia, saya udah tidak begitu memperhatikan prestasi. Menurut saya, tidak terlalu penting lagi.

Saya sempat curhat bareng teman seperjuangan ambis saya yang juga kuliah di Australia:

“Kok aku sekarang udah gak kepengen ya ikut-ikut lomba, exchange, atau mengejar awards lagi. Normal gak sih menurutmu?”

Di awal saya merasa aneh dengan diri saya yang baru paska balik studi master. Aneh aja. Kehidupan yang mengalir bukanlah Indra yang dulu, seorang yang mengejar target dan capaian.

Namun kemudian saya belajar satu hal, mendapatkan kutipan ini dari seorang Kyai:

“Kalau kita menanam padi, rumput pasti ikut tumbuh”
“Tapi kalau kita menanam rumput, tidak ada padi yang ikut”

Selama ini, saya mengejar dunia dan prestasi, layaknya orang yang menanam rumput. Asyik sekali. Padahal, bisa jadi saya kehilangan satu hal: ikhlasnya belajar.

Belajar yang ikhlas tanpa meminta apapun. Belajar yang ikhlas tanpa mengharap apapun. Toh, bukannya belajar itu wajib bagi seorang muslim?

Sekarang, saya lebih ikhlas dalam belajar (semoga saja). Awal tahun lalu, saya mendaftar lagi S2 secara daring di salah satu kampus di UK–tanpa beasiswa. Dengan biaya yang tidak murah pastinya. Karena apa?

Ya, pengen belajar aja. Karena saya bodoh.

The more I know, the more i don’t know

Belakangan juga saya lebih sering membaca buku, ikut seminar, ya tanpa intensi apapun. Belajar aja. Tanpa sebuah tuntutan dan ekspektasi.

Melihat Catatan Kembali

Di titik ini, saya udah tidak terlalu fokus pada prestasi. Maksudnya, tentu saja, saya senang jika mendapatkan penghargaan atau prestasi tertentu. Itu manusiawi.

Tapi bedanya, kalau dulu, prestasi itu saya kejar mati-matian, dengan belajar ekstra keras. Mendekam berhari-hari membaca, menulis, berdiskusi, organisasi, dll

Kalau sekarang, semua mengalir begitu saja. Tanpa effort berlebih dan ambisi yang menggelegar. Semua mengalir, mengikuti class yang sudah saya set tinggi.

Mungkin saya bias di titik ini, tapi saya mencoba untuk merefleksikan kembali apa yang dulu saya kejar. Saya ingat-ingat kembali tujuan saya ketika dulu ngomong sama Mamak di Kantin sederhana kami, Ke Luar Negeri.

Mimpi saya dulu cuma ke luar negeri, kok. gak ada minta lebih sama Allah. 

Tapi siapa yang menyangka, obrolan polos dari anak yang sok tahu kepada Mamaknya tersebut yang mengantarkan saya sejauh ini. Di kelas dan level ini.

Di undang untuk berbicara pada ratusan kegiatan, seminar, workshop. Berbicara di depan puluhan ribu anak muda. Mampu untuk keliling dunia di berbagai benua dengan segala kegiatannya. Mendapatkan prestasi dan penghargaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Tentu, Alhamdulilah tidak mampu mengungkapkan bagamana rasanya mencapai itu semua. Tapi, dengan cara apalagi?

Semua ini berawal dari obrolan ringan dengan Mamak dan tentu saja, soal Hatta.

Untuk teman-teman yang membaca tulisan ini, fokuslah memperbaiki kualitas kelas kita. Jangan terlalu sibuk mengejar form atau prestasi tertentu.

Bermimpilah setinggi kalian mampu bermimpi. Selebihnya, berusahalah. Biarlah waktu yang mengaminkan mimpi kalian. Amin

 

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles
“Hanya orang bodoh yang meminjamkan buku kepada orang. Tapi, hanya orang gila yang mengembalikan
Yang terdekat— merupakan sebuah metafora akan sang kematian sebagai sebuah proses insani sebuah makhluk.

2 Responses

  1. You are so Inspired kak and actually you are one of my role model kak, dan sebenanrya starting point ku juga berasal dari kebupaten kecil kak di sulawesi selatan dan semoga bisa mengikuti jejaknya kakak sebagai seorang life long learner 🤲🏻✨

    Hopefully we can meet in face kak 🤲🏻✨

    1. Hallo Anugrah!

      Terima kasih sudah berkenan membaca. Sure!
      Semoga ada waktu dan rejeki untuk bertatap muka langsung ya.

      Salam,
      Indra

Leave a Reply

Your email address will not be published.