Indra Dwi Prasetyo

Menghamba sang makhluk

Yang terdekat— merupakan sebuah metafora akan sang kematian sebagai sebuah proses insani sebuah makhluk. Ia hadir pula mampir, sebagai awal juga akhir.

Yang terjauh—tergambar melalui ihwal yang sudah-sudah; adalah masa lalu. Ia bagaikan bayang ditengah hari menuju sore senja. Kukabarkan kau satu hal, mereka yang beruntung adalah yang belajar dari darinya—masa lalunya.

Yang terbesar—terlukis melalui buasnya hasrat manusia. Tak lain adalah hawa nafsunya sendiri. Ia bak singa di medan sirkus, menerkam yang tak mampu menjinakannya; namun patuh pada ahlinya.

Yang terberat—tercitra dari peranan manusia sebagai khilafah di hamparan bumi nan luas. Adalah amanah yang membedakan manusia baik sesama makhluk maupun lintas makhluk. Ia mudah diucapkan, namun sungguh berat dilakukan.

Yang teringan—terbaca dari sibuknya sang makhluk mengejar dunia dan melupakan ibadahnya; meninggalkan sholat. Ia kecil seumpama ranting yang paling ringan, ia ringan bak kapas yang paling halus.

Yang tertajam—tergores dari cara manusia berucap; adalah lisan manusia. Ia bagaikan pedang yang terhunus kedalam buncahan daging dan darah, merona merah. Bahkan lebih dari itu, ia memang tak kasat, namun menghasilkan luka yang tak singkat.

Maka apakah yang terbaik dari peranan kita sebagai makhluk selain menghamba? Wallahu a’lam bish-shawabi

Melbourne, 21 Januari 2018
_____________________________
Inspired by Imam Al-Ghazali

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top