Beberapa dari kita mungkin pernah mendengar istilah “thinking out of the box” dimana kita diminta untuk berfikir diluar kebiasaan atau “pattern” berfikir oleh kebanyakan orang. Sebagian dari kita mungkin menjadikan istilah tersebut sebagai sebuah tantangan untuk terus berfikir diluar jangkauan fikir kita untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang otentik dan berbeda. Namun pada satu sisi, benarkah manusia mampu berfikir diluar “kotaknya”? Atau barangkali, manusia memang tidak memerlukan kotak untuk berfikir?
Berfikir bagi beberapa teori diasosiasikan sebagai proses manusia mencerna informasi yang diperoleh di dalam otaknya untuk kemudian menghasilkan sintesis berupa ide atau konsep yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Jauh sebelum ilmu modern mengenal otak sebagai organ terpenting dalam proses berfikir, manusia jaman dahulu mengaitkan berfikir dengan beberapa organ tubuh lainnya—sebutlah hati dan jantung. Proses ini menunjukan bahwa ketertarikan manusia didalam mengetahui proses berfikir sudah dilakukan sejak jaman dahulu. Seiring berjalannya waktu, proses berfikir mengantarkan manusia untuk menciptakan berbagai jenis ilmu baru sebagai perkembangan ilmu pengetahuan seperti filsafat, medis, pendidikan dsb. yang difungsikan untuk mempermudah segala aktifitas hidup.
Pada titik tertentu, sebagian dari kita mungkin sependapat bahwa proses berfikir manusia dibentuk oleh beberapa faktor, seperti pengalaman, sosio-kultural, agama dan kepercayaan hingga buku-buku yang dibaca. Fenomena ini yang pada akhirnya membedakan manusia satu dengan lainnya dalam cara pikir dan sudut pandang dalam melihat sesuatu, karena berbedanya latar belakang setiap manusia dalam memeroleh objek fikirnya. Untuk melakukan konsensus bersama terhadap latar yang berbeda-beda, dibentuklah aturan dan batasan oleh manusia untuk membantu mereka memahami proses berfikir dengan lebih teratur dan dapat diterima semua orang; seperti norma, nilai dan hukum yang berlaku di masyarakat. Atas dasar ini pula, sebuah keteraturan dan kesepahaman fikir bagi setiap manusia kemudian tercipta.
Persoalannya adalah, bolehkah manusia berfikir diluar dari batasan-batasan ketentuan yang telah disepakati sebagai konsensus bersama oleh tatanan masyarakat? Jawab saya boleh, kenapa tidak? Berfikir diluar aturan-aturan yang berlaku diluar tatanan manusia tidak akan menyebabkan mereka yang melakukannya ditindak sebagai kriminal; justru bisa jadi dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang selama ini belom pernah terfikirkan sebelumnya. Jika ada yang kemudian bertanya, apakah dengan kebebasan fikir, manusia dapat bertindak sebebasnya, katakanlah seperti berbuat kerusakan lingkungan untuk perutnya sendiri atau berbuat makar atas pemerintahan yang sah misalnya? Untuk menjawabnya, kita perlu memisahkan antara berpikir sebagai proses dan berfikir sebagai sebuah tindakan. Contoh yang saya utarakan sebelumnya merupakan definisi berfikir sebagai sebuah tindakan dimana dalam hal ini dapat menyebabkan terganggunya kepentingan dan hak-hak orang lain terhadapnya. Kaidah ini tentu saja berbeda dengan berfikir sebagai sebuah proses dimana proses berlangsungnya logaritma berfikir dan outputnya hanya berkisar di dalam pusaran alam fikir manusia. Dengan menggunakan ruang lingkup ini, berfikir sebagai sebuah proses tidak akan menghasilkan eksekusi lanjutan dari apa yang difikirkan, melainkan hanya terekam didalam diri setiap manusia.
Dengan sudut pandang diatas, sejatinya proses berfikir manusia memang tidak ada batasannya alias tanpa kotak dan sekat. Proses menghentikan manusia untuk dapat berfikir bebas menurut Alm. Gusudur merupakan sebuah kesia-siaan, karena pada dasarnya kebebasan berfikir bagi setiap masyarakat dijamin oleh peraturan itu sendiri, dalam hal ini adalah Undang-Undang. Maka, benarkah istilah “thinking out of the box”? Menurut hemat saya itu kurang tepat, karena pada dasarnya “thinking has no box”; bahwa berfikir itu memang tidak ada batasan. Batasan-batasan dalam berfikir tercipta karena kita sendiri yang dengan sengaja mengadirkannya kedalam alam fikir kita untuk membuat sederet pengecualian dan sekat yang pada akhirnya mengurung kita untuk berfikir bebas. Kebebasan dalam berfikir ini dapat berlangsung tanpa batas dan mulai berbatas ketika kita ingin mengaplikasikan buah fikir kita kedalam tindakan konkrit. Pada titik ini, jika ada yang bertanya kenapa tindakan-tindakan konkrit harus memiliki batasan dan tidak bebas sebebas berfikir? Jawab saya sederhana: karena kita hidup di muka bumi milik semua manusia, bukan Bikini Bottom.
3 thoughts on “Thinking out of the box, really?”
Setelah dewasanya pemikiran sudah umum dilakukan, akhirnya kusadari bahwa aku tidak hidup di bikini bottom.
Thanks for thinking out of the box.
as an engineer i tend to thinking inside the box since we have understood that we don’t need to (re)invent wheel(s) but rather to improve it(s) to meet different need…hehehe or as an unknown civil engineer told a physicist: we never think to try to find any tools to make us able to see through a wall because we already invented window long long time ago (hahaha have you ever heard that joke?) anyway you are right and i do agree: thinking has no box (those boxes are virtually present in our mind l, though?) nice opinion ndra…
as an engineer i tend to thinking inside the box since we have understood that we don’t need to (re)invent wheel(s) but rather to improve it(s) to meet different need…hehehe or as an unknown civil engineer told a physicist: we never think to try to find any tools to make us able to see through a wall because we already invented window long long time ago (hahaha have you ever heard that joke?) anyway you are right and i do agree: thinking has no box (those boxes are virtually present in our mind, though?) nice opinion ndra…