Indra Dwi Prasetyo

Saracen: Kemajuan dalam literasi (?)

Saracen

Langkah serius pemerintah untuk memberantas status dan akun penyebar kebencian, provokasi, dan sensitif SARA akhirnya berbuah manis kalau tidak mau dikatakan legit. Baru-baru ini, terkuak sebuah modus baru dunia digital bernama Saracen (1). Tidak tanggung-tangung, Saracen dijadikan mesin politik untuk merusak reputasi dan nama baik seseorang yang konon dapat dipesan dengan harga sekitar 72 juta per paket pesanan (2). Publik bertanya-tanya, siapakah dibalik saracen, apa motif politiknya, dan bagaimana cara ia bekerja. Namun, ada yang mengusik hati dan fikiran saya lebih dalam dari perkara politik itu: kemampuan literasi dalam membaca berita digital.

Saya tertarik untuk menarik benang merah kasus Saracen dan bagaimana warganet mengelola bacaan mereka di dunia digital dalam aspek literasi. Dalam upaya membedah  fenomena ini agar lebih mudah, saya akan menggunakan pendekatan yang dikeluarkan oleh Chall (1983) dalam bukunya Stages of Reading Development (3), ia mengatakan terdapat sedikitnya 6 (enam) tahapan bagaimana seseorang belajar aksara mulai dari paling dasar hingga paling tinggi. Pada fase 0, perkembangan membaca manusia terletak pada level yang paling bawah dimana ini terjadi pada anak berusia 0-6 tahun. Karakteristik perkembangan ini biasanya ditandai dengan kemampuan anak-anak untuk mengenali alfabet, angka dan kata sederhana. Selanjutnya, pengenalan kata dan suara dalam membentuk kata sederhana dialami mereka di fase 1, dan ini dialami anak pada usia 6-7 tahun.

Selanjutnya adalah fase ke-2 dimana anak-anak usia 7-8 tahun mulai belajar untuk membaca bacaan yang sederhana, dan maksud sederhana dibalik sebuah percakapan. Fase ke-3 adalah dimana anak-anak belajar untuk mengenal kata-kata baru melalui bacaan, biasanya berlangsung saat usia 9-13 tahun. Pada fase ini, anak mulai merasakan emosi sebuah bacaan dan mempelajari satu sudut pandang sebuah bacaan walaupun bersifat sederhana. Fase ke-4 adalah fase yang lebih komprehensif dimana mereka mampu untuk membuat kesimpulan dan melihat bacaaan dari persektif berbeda walaupun tidak begitu tajam dan luas, namun setidaknya pada fase ini mereka mampu untuk mengklasifikasikan sebuah pandangan yang berbeda dari pandangan mereka. Fase ini pada umumnya berlangsung pada anak-anak di usia 14-17 tahun. Terakhir—fase ke-5— adalah fase dimana manusia dituntut untuk melakukan kajian kritis atas sebuah bacaan, dan biasanya ditujukan untuk membangun sebuah pengetahuan atau informasi yang baru. Disini, informasi yang didapat biasanya memerlukan bukti yang empirik maupun valid agar menghasilkan konstruksi berfikir yang holistik.

Dari perkembangan literasi pada manusia diatas, sebenarnya kita dapat merefleksikan pada level mana kita membaca dan membangun sebuah argumen, dan juga seberapa kritis kita dalam melihat sebuah fenomena.  Lalu, apa hubungannya dengan fenomena kasus Saracen? Di dunia yang mengharapkan kita untuk selalu berfikir positif, mungkin ada baiknya kita menganggap ini sebagai sebuah kemajuan; mungkin saja para anggota Saracen baru saja beranjak dari fase 0 ke fase 1, atau fase 1 ke fase 2 dalam berliterasi. Apapun itu, bukankah itu sebuah kemajuan literasi yang patut disyukuri, kan?

 

 

 

Referensi:

(1).https://news.detik.com/berita/d-3613788/grup-saracen-ditangkap-kompolnas-ini-jawaban-atas-berita-hoax

(2).http://nasional.kompas.com/read/2017/08/25/20475761/ini-tarif-kelompok-saracen-untuk-sebarkan-konten-ujaran-kebencian-dan-sara

(3). Chall, J. (1983). Stages of reading development. New York: McGraw-Hill

Sumber gambar: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/08/25/ov8mgi382-penyebar-hoax-grup-saracen-ditinggalkan-anggota

 

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top