Beberapa waktu yang lalu, saya menulis satu post di Instagram berjudul “Menguji Nilai Kebenaran Kita.” Tulisan ini saya pikir cukup dialektis, setidaknya menurut saya, di mana saya menuliskan proses saya dalam mengubah cara pandang saya atas “kebenaran.”
Kata “kebenaran” penting untuk saya beri tanda petik (“) karena tulisan itu mengambil sudut pandang saya sebagai subjek, sekaligus objek tulisan. Jadi, “kebenaran” yang saya tulis di sini, bisa jadi bukanlah sebuah kebenaran yang sebenarnya. Bisakah kita sepakat? Kalau iya, mari kita lanjut.
Singkatnya, saya mulai mengubah paradigma saya dalam melihat “kebenaran” dari yang sebelumnya diskursif menjadi intuitif. Dari penyuka debat penuh retorika menjadi lebih spontan dengan tangkapan-tangkapan intuisi.
Buat yang tertarik membaca postingannya, bisa dibaca di sini –> Post Instagram
Ada satu pertanyaan di postingan tersebut yang menantik saya untuk menulis tulisan ini dengan redaksi berikut:
“Keren kak. Oh iya kak, izin bertanya Untuk kak @indradwiprasetyo sendiri, apakah ada standar yang dijadikan sebagai acuan kebenaran intuitif?”
Semoga tulisan saya berikut bisa sedikit menjawab pertanyaan yang diajukan di atas.
***
Adalah Descartes (1596-1650), seorang filsuf yang digadang-gadang mengajak manusia untuk menerjemahkan pengetahuan melalui hubungan subjek (manusia) dan objek (materi semesta lainnya). Subjek dianggap kapabel untuk mengetahui ilmu dan mengenai objek yang ada di luarnya.
Pandangan ini setidaknya bertahan hingga saat ini dan kita kenal dengan metode ilmiah (scientific method). Secara dasar, ada dua formula bagaimana metode ini bekerja: deduksi rasional dan induksi empiris.
Deduksi rasional adalah bagaimana kita mengenal logika melalui penarikan kesimpulan dari serangkaian premis-premis. Sedangkan induksi empiris adalah bagaimana kita menarik kesimpulan dari serangkaian data empiris.
Saya pikir, saya tidak perlu menjelaskan terlalu dalam tentang keduanya, karena secara tidak langsung metode tersebut kita gunakan sehari-hari dalam memeroleh pengetahuan. Ada proses adu argumen dan data yang dilakukan agar kesimpulan yang ditarik tidak keluar dari pakem santifik tadi.
Proses-proses tersebut yang saya maksud dengan istilah “diskursif” dalam postingan saya di Instagram sebelumnya. Secara kasar, diskursif dapat dimaknai sebagai proses kemampuan berpikir menggunakan nalar dan logika-logika. Logika-logika tersebut membutuhkan argumen yang kokoh sertad ata yang kuat untuk dapat membuat sebuah kebenaran.
“If you cannot argue, you lose,” begitulah sederhananya.
***
Proses di atas hadir bukannya tanpa dilema. Jika kita melihat sejarah panjang manusia, proses berpikir seperti di atas, jika mengutip Harari dalam Sapiens (2014), baru dimulai sejak Revolusi Santifik, kira-kira tahun 1543-1600 hingga saat ini. Periode 5 (lima) abad tersebut termasuk pendek dalam umur sejarah manusia.
Morris Berman dalam bukunya The Reenchantment of the World (1984) mengatakan bahwa 99% sejarah pengetahuan manusia sebelum Revolusi Saintifik dilalui dengan metode yang jauh berbeda.
Pertanyaan besarnya, bagaimana 99% pemerolehan pengetahuan sebelum Revolusi Saintifik (kisaran tahun 1543-1600) didapat? Hal ini yang nantinya akan saya sebut dengan istilah “intuitif” pada tulisan ini.
Cukup panjang kiranya untuk menelaah term intuitif dalam pelbagai aspek. Namun, izinkan saya menggunakan framework yang ditawarkan oleh seorang filsuf Muslim bernama Ibn Arabi (1165-1240) dalam menangkap pengetahuan secara intuitif.
Dalam pandangannya di kitab karangannya Futuhat al-Makkiyyah, pengetahuan dapat diklasifikasan menjadi tiga cara pencapaian: Rasional, Eksperimental dan Gaib (mistik).
1. Pengetahuan Rasional
Kendati revolusi santifik baru terjadi di abad 15, namun tidak berarti penalaran menggunakan metode investigasi langsung tidak digunakan dalam pemerolehan pengetahuan pada periode sebelumnya. Memang, proses berpikirnya tidak sesistematis sebagaimana metode induksi-deduksi pada umumnya.
Pengetahuan pertama ini, menurut Ibn Arabi didapat melalui suatu penyelidikan langsung menggunakan sebuah bukti. Misalnya, seekor kucing kedapatan mencuri ikan di dapur, maka kebenaran akannya tidak perlu lagi diperdebatkan. Dengan catatan, terdapat saksi dan bukti yang melandasinya.
Namun, metode rasional juga bukanlah satu-satunya metode pengungkapan pengetahuan, ada metode lainnya yang disebut Eksperensial.
2. Pengetahuan Eksperensial
Metode ini lebih personal daripada metode rasional sebelumnya. Terdapat kesadaran untuk mulai “merasa”. Metode ini tidak hanya melibatkan penginderaan fisik seperti metode Rasional di atas sebelumnya, namun mulai menggunakan perasaan dan pikiran.
Misal, seorang yang merasakan kesedihan karena ditinggal oleh kekasihnya. Kepiluan ini dirasa di dalam hati hingga mengganggu pikiran seseorang. Pengetahuan mengenai rasanya sedih ditinggal kekasih ini tidak dapat begitu saja diajarkan kepada orang yang belum mengalaminya. Memerlukan pengalaman.
Itulah mengapa, metode ini lebih bersifat personal karena mulai menggunakan kesadaran batin dan pikiran secara pribadi. Hal yang sama berlaku ketika kita menjelaskan manisnya madu, pahitnya kopi, nikmatnya gulai kambing dan sebagainya.
Walaupun metode ini cukup personal, pemerolehan pengetahuan menggunakan metode ini tidak bisa dirasakan oleh semua orang karena terbatas pada indera yang ada padanya. Pahitnya kopi tidak bisa dirasa oleh orang yang sedang sakit, atau indahnya pemandangan tidak bisa dinikmati oleh seorang yang buta.
Pemerolehan pengetahuan yang bebas akan ke-inderaan ini ditangkap dengan metode ketiga: Pengetahuan Gaib (mistik)
3. Pengetahuan Gaib (Mistik)
Jika dua pengetahuan sebelumnya bisa diperoleh dengan relasi subjek-objek, pengetahuan ketiga tidak memerlukannya. Ia bahkan sulit untuk ditangkap secara akal.
Pemerolehan pengetahuan ini didapatkan melalui penganugerahan Tuhan kepada manusia. Nabi-nabi bisa diambil sebagai contoh bagaimana Tuhan menganugerahi “pengetahuan” yang sulit untuk dijangkau nalar dan akal masyarakat pada umumnya.
Jenis pengetahuan ini bisa saja terjadi pada manusia biasa dalam bentuk pengalaman spiritual mataupun hikmah-hikmah kehidupan. Oleh karenanya, pengetahuan ini jauh lebih personal daripada pengethauan Eksperensial sebelumnya, karena melibatkan perjalanan spiritual seseorang.
Terlebih, masih menurut Ibn Sina, pengetahuan ini diklasifikasikan dalam dua kategori; dapat dideskripsikan dan tidak dapat dideskripsikan. Pengalaman spiritual yang dapat dideskripsikan mungkin akan lebih mudah diterima dan didengarkan oleh orang lain, namun lain halnya dengan yang tidak dapat terdeskripsikan.
Ia akan tersimpan dalam hati dan pikiran manusia yang memerolehnya.
***
Tentu, pembahasan mengenai ini bisa sangat panjang dan kompleks. Namun, yang ingin saya utarakan di tulisan ini adalah bagaimana searifnya kita memaknai kebenaran, bahwa tak selamanya proses diskursif kita dapat jadikan satu-satunya alat kita menilai orang lain.
Ada hal lain yang selayaknya kita pertimbangkan, misal pengalaman Eksperensial dan Spiritual mereka dalam memaknai kebenaran versi mereka. Itulah sebabnya, melihat kebenaran dalam kacamata diskursif secara ekstrim tidak hanya ugal-ugalan, namun juga egois.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah pengetahuan gaib (mistik) terlihat jadi tidak rasional? bagaimana kita membuktikan kebenaran gaib (mistik)? Bisakah kita mendamaikan pengetahuan gaib agar mampu dirasionalkan dengan pendekatan yang lebih diskursif?
Semoga bisa saya tulis pada tulisan berikutnya.
1 thought on “Rasional ke “Irasional”: Dari Descartes Menuju Ibn Arabi”
Keren kak.