Dalam sumir senja yang malu -malu menjelang sore, saya mencari tempat berteduh untuk sesaat. Bukan saja dari teriknya panas matahari, namun juga keringnya kerongkongan yang belum dialiri air.
Waktu itu menunjukkan pukul 04.00 PM waktu Australia, lebih tepatnya bulan Ramadhan.
Sesampainya di salah satu tempat, saya melipir ke salah satu mesjid di salah satu daerah di Kota Melbourne. Dari arsitekturnya, saya meyakini ini adalah salah satu mesjid Turki. Minimal, dari kubah dan ornamen yang saya temui di dalamnya.
Pandangan saya hampir “dibutakan” oleh kecantikan ornamen yang ada dalam mesjid tersebut. Maklum saja, saya di kampung paling banter hanya dikelilingi musholla yang “ala kadarnya”. Minimal ada kipas, jamaah sudah gembira dan betah. Benar, kan?
Sadar bahwa saya belum menunaikan sholat Ashar, beranjak saya mengambil wudhu di salah satu pelataran mesjid. Terlihat dari samping, sekelompok kakek-kakek tua berjenggot panjang putih dengan perawakan Timur Tengah melihat ke arah saya.
“biar ajalah,” pendam aku dalam hati.
Selesai wudhu, saya hampiri mereka. Istilah orang kita “sowan”. Ya tentu saja, saya orang asing di komunitas tersebut. Pendatang.
“Assalamualaikum,” sapa saya pada mereka.
“Waalaikumsalam,” jawabnya.
“Can I please pray Ashar here,” pinta saya kepada salah satu orang dari mereka.
“Sure, please. After that, come to our room,” pinta mereka pada saya.
“All good. Will come afterwards,” jawab saya mengakhiri.
**
Janji harus ditepati, bukan? Bergegas selesai mengerjakan sholat Ashar, saya menuju ruangan kakek-kakek tua tersebut. Singkat cerita, mereka adalah Masyarakat Afghanistan yang sudah lama tinggal di Melbourne.
Setelah lama bercerita kesana kemari, waktu azan tiba. Sebagai seorang yang sedang “bolang”, sudah tentu saya memiliki perbekalan.
“No, just eat together with us,” pintanya kepada saya agar dapat makan bersama.
Ya, benar saja sih, mereka menyediakan saya banyak makanan untuk berbuka.
“Please, take yours”, katanya.
Ya karena sedang di Melbourne, tentu saja saya tidak menggunakan jurus “malu-malu kucing” dengan berkata “oh gak apa, saya sudah bawa bekal” HAHA
Basa-basi tidak berlaku disini. Okay, saatnya makan.
**
Berbeda dengan cerita di atas, ada sebuah perdebatan panjang yang saya alami bersama dengan seorang teman saya. Tentang……tentang teknologi dan masa depan.
In short, ia berpandangan bahwa teknologi hari ini akan membantu kita dalam banyak hal di kehidupan. Mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Oleh karenanya, teknologi adalah “budaya baru” sehingga menggeser budaya-budaya lama yang mungkin kurang relevan.
“Ndra, even Sirri knows more than us,” katanya coba meyakinkan sambil menunjukkan HP Iphone-nya.
“Well, I do agree with you at this part”, jawab saya.
“But. For other reason, lemme think twice.”
Perhatikan, tentu kita semua sepakat bahwa teknologi hari ini memudahkan kita dalam banyak hal. Kita bisa bertanya kepada siri, mulai dari siapa pebulutangkis pertama India? Hingga pertanyaan kapankah President Bush lahir? Semuanya bisa diketahui tanpa berpikir.
Tapi begini. Sirri tentu saja tahu tentang berapa jumlah kalori dari sepotong pisang. Tapi tentu Sirri tidak bisa memberi kita petunjuk, boleh kah kita memakan pisang?
Oke, kalau membingungkan, saya coba sederhanakan. Sirri dan semua jenis teknologi hari ini memang mampu memberikan kita kemudahan-kemudahan. Tapi ia tidak memberikan kita kebijaksanaan.
Atau dalam bahasa berbeda, Sirri adalah pengetahuan, bukan kebijaksanaan.
Kita memerlukan pengetahuan, tapi kita kadang lupa kita memerlukan kebijaksanaan dalam menggunakan pengetahuan.
Misalnya, kita tahu bahwa jika mengambil 2 potong apel + 2 potong apel lainnya adalah = 4 potong apel. Tapi saya yakin, Sirri tidak tahu, itu apel punya siapa? Bolehkah kita memakannya? Sudah izinkah kita kepada yang punya? Dan seterusnya.
Saya yakin, kakek-kakek tua yang saya temui di Mesjid Turki di atas mungkin tidak memiliki kecakapan teknologi sebaik saya. Jika saja saya serahkan device saya, mungkin ia akan kebingungan dalam menggunakannya.
Kendati demikian, ia bisa menggunakan “teknologi” yang ada dalam hati dan pikirannya untuk menjamu seorang musafir seperti saya. Teknologi yang tertanam dalam diri seseorang ini yang kemudian saya sebut sebagai kebijaksanaan (wisdom).
Tentu saja, teknologi dapat kita kuasai dengan relatif mudah dan instan, namun tidak dengan kebijaksanaan; ia dipupuk oleh rasa, pengalaman, dan spiritualitas seseorang.
Teknologi mengajarkan kita akan kecepatan dan ketepatan, kebijaksanaan melatih kita untuk bertindak terukur dan tidak tergesa-gesa dalam bertindak.
Tentu, saya tidak sedang membandingkan teknologi dan kebijaksanaan secara apple to apple, namun saya ingin mengatakan bahwa ditengah dunia yang kompetitif seperti ini, teknologi memang penting. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu semua—bagaimana teknologi itu digunakan.
Sirri mungkin mampu memesankan saya makanan untuk berbuka puasa dengan Uber food, tapi setidaknya kakek tua di mesjid tersebut sudah lebih dahulu memberi saya makanan tanpa harus menggunakan aplikasi.
Oh iya, satu lagi. Dan tentu saja. Gratis.
1 thought on “Percakapan “Siri” VS Kakek Tua”
💯
-auriptide