Indra Dwi Prasetyo

(Penghapusan) Ujian Nasional?

penghapusan ujian nasional

Debat ketiga Pemilihan Presiden 2019 yang telah berlalu, menimbulkan ruang-ruang diskusi setelahnya. Salah satu yang menarik perhatian publik adalah perihal penghapusan Ujian Nasional (UN) yang disampaikan oleh Cawapres Sandiaga Uno. “Kita pastikan diganti dengan penerusan minat dan bakat,” ucapnya.

Jika kita melihat UN sebagai sebuah tren dalam narasi politik, ini bukanlah barang baru. Narasi ini setidaknya bisa dilacak ke dalam lima tahun terakhir, ketika janji serupa juga diucapkan oleh Joko Widodo pada kampanye 2014. Lantas, apa urgensi penghapusan UN dalam pendidikan? Serta, mengapa hal ini menarik untuk terus dijadikan narasi politik?

Regulasi yang Dinamis

UN sebagai sebuah parameter kelulusan tidak bisa serta-merta dilihat sebagai objek yang ajeg, melainkan sebagai objek historis yang dinamis. Setidaknya, sistem pendidikan kita dari Kemerdekaan hingga 1970-an menggunakan UN yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan sebagai satu-satunya syarat kelulusan.

Pada 1974, regulasi tersebut kemudian diubah di mana kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tentu, hal ini menimbulkan polemik –100% kelulusan diraih oleh siswa karena kurang ketatnya standar yang diterapkan oleh sekolah.

Sejak itu, beberapa peraturan lain juga diterapkan, misalnya UN hanya menitikberatkan pada beberapa pelajaran saja, kembali tidak menjadi penentu kelulusan, hingga UN hari ini yang mengacu pada Permendikbud No. 4 Tahun 2018 bernama Ujian Nasional Berstandar Nasional (USBN) dengan komputer sebagai media tesnya.

Selain pada aspek historis di atas, UN pada dimensi akademis dapat dilihat minimal ke dalam tiga kacamata pendidikan: (1) UN sebagai “summative evaluation“, (2) UN sebagai “diagnostic evaluation“, dan (3) UN sebagai “placement test“.

Pelaksanaan UN pada akhir masa studi pada akhirnya membuat UN masuk kategori “summative evaluation“, di mana kemampuan peserta didik akan diukur di akhir proses belajar. Oleh karenanya, UN dapat dijadikan sebagai salah satu alat refleksi atas keberhasilan belajar siswa. Walaupun banyak pro-kontra dalam proses ini, namun fungsi UN sebagai salah satu alat ukur “summative” masih berlangsung setidaknya hingga saat ini.

Penting juga untuk dicatat bahwa adanya perbaikan pendidikan dari tahun ke tahun tidak bisa dilepaskan dari kontribusi UN sebagai “diagnostic evaluation” –hasil dari UN digunakan sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan pada masa mendatang. Misalnya, mengacu pada situs Kemendikbud, terdapat tren penurunan nilai pada rata-rata UN untuk program IPA dari 65,78 pada 2014/2015 menjadi 51,57 pada 2017/2018. Oleh karenanya, nilai UN berguna untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam proses perbaikan pendidikan ke depannya.

Terakhir, UN sebagai “placement test” dapat dilihat di kampus-kampus –nilai akhir UN digunakan sebagai syarat masuk sebuah universitas. Pada level yang lebih spesifik, nilai UN juga digunakan sebagai penjurusan program studi universitas. Di level yang berbeda, nilai UN juga dapat digunakan untuk melamar pekerjaan atau menempati sebuah posisi. Pada titik ini, nilai UN dapat dilihat sebagai tolok ukur bagi peserta didik untuk dapat melanjutkan kariernya, baik melalui universitas maupun bekerja profesional.

Narasi Politik

Biaya yang tinggi dijadikan salah satu alasan penghapusan UN oleh Sandiaga Uno. “Kami juga akan menghapus Ujian Nasional. Ini adalah salah satu sumber daya biaya yang tinggi bagi sistem pendidikan kita,” ucapnya. Selanjutnya, UN akan diarahkan kepada penelusuran minat dan bakat siswa. Namun, benarkah UN salah satu sumber pembiayaan yang tinggi di pendidikan kita?

Mengutip pernyataan Sekretaris Badan Penelitian dan Penembangan Kemendikbud Dadang Sudiyarto, anggaran UN 2019 berkisar Rp 210 miliar dari yang sebelumnya Rp 500 miliar. Berkurangnya dana ini dari sebelumnya dikarenakan sistem UN yang tidak lagi berbasis kertas serta pembiayaan pengawas oleh satuan pendidikan melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).

Lebih lanjut, dari Rp 210 miliar dana yang dianggarkan untuk UN, rata-rata menelan Rp 55 ribu per siswa sebagai dana operasionalnya. Hal ini jauh lebih efektif jika berkaca pada pelaksanaan UN pada 2012 yang menelan hingga Rp 600 miliar dengan biaya operasional per siswa sebesar Rp 50 ribu.

Narasi lainnya ditunjukkan Joko Widodo ketika kampanye Pilpres 2014, dengan mengatakan bahwa UN bagi pelajar SD dan SMP akan ditiadakan, serta UN bagi SMA digunakan sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Kebijakan itu tidak berjalan sepenuhnya pada masa pemerintahannya. UN tetap dilaksanakan, hanya dihilangkan fungsinya sebagai satu-satunya tolok ukur standar kelulusan peserta didik.

Masa Depan UN

Dari dua narasi pada dua waktu yang berbeda di atas, terjadi perbedaan kacamata bagaimana masing-masing kandidat melihat UN itu sendiri. Sandiaga Uno lebih melihat UN dalam sudut pandang anggaran serta UN sebagai “placement test” –lebih ditujukan pada penempatan minat dan bakat siswa.

Berbeda dengan Sandiaga Uno, Joko Widodo pada 2014 silam lebih melihat UN dalam sudut pandang “diagnostic evaluation” –UN tidak digunakan sebagai alat ukur kelulusan, melainkan sebagai pemetaan kualitas pendidikan untuk dapat menentukan kebijakan pendidikan pada masa mendatang.

Penting untuk dilihat bahwa narasi penghapusan UN ini muncul ketika kampanye Capres-Cawapres berlangsung. Agaknya wajar jika hal ini kemudian dikaitkan dengan proses perolehan suara oleh pemilih pemula, yang tentu baru saja mengalami suka-duka UN.

Mengutip data dari KPU, pada 2014 gabungan angka pemilih pemula (17-20 tahun) dan pemilih muda (17-30 tahun) sekitar 60 juta jiwa. Hal ini bertambah di Pemilu 2019 kali ini, jumlah gabungan pemilih pemula dan muda diperkirakan mencapai 100 juta dari 186.379.878 jumlah pemilih tetap.

Memang harus diakui, UN sedikit-banyak memberikan dampak bagi siswa. Pada beberapa penelitian, UN menimbulkan kecemasan, perasaan gelisah hingga tertekan secara mental. Namun, dengan tidak menyampingkan aspek psikologis di atas, penghapusan UN memerlukan kajian yang panjang.

Pada kenyataannya, UN di Indonesia memang belum bisa dikatakan sempurna. Misalnya, kasus jual beli jawaban beberapa tahun silam, ataupun penggunaan UN berbasis komputer yang belum bisa merata di semua sekolah. Namun, penghapusan UN tidak serta-merta membuat kondisi pendidikan kita jauh lebih baik.

UN sebagai sebuah kebijakan memang tidak bisa dilepaskan dari arus kritik. Karena perspektif fungsinya yang beragam, baik sebagai “summative evaluation“, “diagnostic evaluation“, maupun “placement test“, pintu kritik tentu terbuka lebar.

Namun, penting untuk juga dicatat, sesuai fungsinya menurut Permendikbud No. 4 Tahun 2018, UN dilaksanakan untuk meningkatkan mutu penilaian hasil belajar serta peningkatan standar kompetensi lulusan nasional. Oleh karena itu, UN memang harus dipandang secara lebih holistik. UN tidak bisa dilepaskan dari variabel guru, sekolah, siswa, anggaran, hingga perangkat soal yang digunakan.

Kajian-kajian yang mendalam sangat diperlukan untuk menentukan masa depan UN. Bukan sebagai narasi politik lima tahunan sekali.


Ps: tulisan ini pertama kali terbit pada Detik.com dengan judul “Ujian Nasional dalam Narasi Politik” https://news.detik.com/kolom/d-4487039/ujian-nasional-dalam-narasi-politik

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top