Indra Dwi Prasetyo

Pendidikan Multikultural di tengah intoleransi

Beberapa waktu yang lalu, pada tanggal 7 Desember 2018, SETARA Institute mengeluarkan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 (bisa dibaca disini). Studi ini dilakukan  terhadap 94 kota di Indonesia dalam hal promosi dan praktik toleransi oleh pemerintah kota di masing-masing daerah yang pada akhinya meletakkan Singkawang sebagai Kota Paling Toleran 2018.

Setidaknya, terdapat empat atribut yang digunakan untuk melihat tingkat toleransi sebuah kota, meliputi; (1) regulasi daerah yang kondusif dan terbuka bagi upaya promosi toleransi, (2) pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah yang menyokong ruang toleransi, (3) tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebaan beragama dan (4) tata kelola keberagaman yang efektif yang dilakukan oleh kota tersebut atas identitas keagamaan warganya.

Namun, terlepas dari semua atribut dan variabel di atas, pendekatan melalui pendidikan agaknya tidak banyak diperbincangkan, baik sebagai  preventif maupun kuratif. Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah salah satu cara paling efektif untuk merubah cara pandang dan perilaku manusia.

Dari sekian banyak pendekatan yang digunakan sebagai kontra-intoleransi, pendidikan multikultural menjadi salah satu cara yang menarik untuk dapat dilakukan secara lebih efektif di Indonesia.

Pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidkan yang membantu siswa-siswi untuk dapat mengetahui, mengenal dan menghargai perbedaan sebagai sebuah realitas kehidupan. Pendidikan multikultural meniscayakan pembelajaran berdasarkan pada pengetahuan budaya, pengalaman siswa serta keberagaman etnis untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang relevan bagi peserta didik.

Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural mungkin tidak begitu popular jika dibandingkan dengan pendidikan lainnya, katakanlah seperti pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam ataupun pendidikan Agama.

Karena Indonesia tidak memiliki pendidikan multikultural secara khusus, untuk itu, dalam tulisan ini saya lebih memaknai pendidikan multikultural sebagai sebuah pendekatan multidisiplin yang fleksibel, dapat diadaptasi pada setiap mata pelajaran.

Dalam sebuah studi, pendidikan yang menggunakan pendekatan multikultural lebih memudahkan para siswa-siswi di kelas untuk dapat mengetahui dan memahami budaya-budaya yang ada di sekitar mereka secara lebih dalam.

Hal tersebut disebabkan karena para siswa tidak hanya mempelajari hal-hal yang ada pada diri dan komunitas mereka sendiri, seperti budaya atau agama, tapi juga mempelajari lebih dalam perihal sesuatu diluar komunitas mereka.

Dalam hal ini, kemampuan seorang pendidik untuk dapat menerjemahkan keberagaman sebagai sebuah sikap yang konstruktif sangat dibutuhkan. Dengan adanya pemahaman akan perbedaan ini, maka akan terjalin sebuah kepercayaan dan sikap saling hormat-menghormati antar sesama siswa.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Fredick pada tahun 2012 yang lalu mengonfirmasi bahwa dengan adanya pendekatan multikultur di dalam kelas, para siswa-siswi lebih memandang perbedaan sebagai sesuatu yang positif dan menyenangkan.

Misalnya, perihal jilbab bagi siswi muslimah. Dengan adanya pendidikan multikultural, jilbab tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang “taken it for granted”, melainkan sebuah studi kasus yang bisa dijadikan bahan diskusi antar siswa. Dengan begitu, kesadaran yang terbentuk adalah kesadaran kesepahaman bersama, bukan stereotipe dan prasangka.

Hal demikian juga berlaku pada kasus-kasus lainnya, bahkan pada kasus-kasus yang sering dianggap tabu, misalnya mengapa daging babi tidak dikonsumsi oleh masyarakat muslim, namun dapat dikonsumsi oleh kelompok agama lainnya. Atau bagaimana sapi yang setiap tahunnya dijadikan kurban bagi kelompok muslim, namun ternyata dianggap suci dan tidak dikonsumsi oleh masyarakat beragama Hindu.

Hal-hal semacam ini kiranya dapat memperkuat kesadaran keberagaman yang ada dalam diri siswa, sehingga yang terbangun pada akhirnya adalah mutual understanding, dan berimplikasi pada sikap toleransi dan saling menghormati antar sesama mereka, bukan sebaliknya, apatis dan stereotipe terhadap perbedaan.

Tantangan Pendidikan Multikultural

Peluang merubah paradigma menggunakan jalur pendidikan memang masih memerlukan upaya yang keras dari pelaku pendidikan, salah satunya Guru. Dalam memberikan pembelajaran dengan pedekatan multikultural, guru menjadi aktor penting dalam mengarahkan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antar siswa mengenai perbedaan-perbedaan yang ada.

Untuk itu, sebelum memberikan pemahaman mengenai pendidikan multikultural kepada para siswa, sang Guru harus memiliki pemahaman dan sikap yang menghargai perbedaan secara kontruktif. Hal ini menjadi penting karena sikap dan pandangan guru akan berimplikasi terhadap proses pembelajaran di dalam kelas.

Sebuah studi kasus di Amerika menunjukan dimana ketidakmampuan sang guru untuk bersikap adil terhadap perbedan—dalam kasus ini adalah siswa berkulit hitam dan putih—berakibat pada nilai belajar siswa. Ketika siswa berkulit putih dianggap superior, maka siswa kulit hitam mendapatkan nilai yang lebih rendah. Namun, nilai menjadi setara ketika sang guru bersikap adil dan tidak stereotipe terhadap siswa-siswinya.

Untuk itu, pendidikan multikultural yang efektif harus disokong dengan sikap adil oleh sang guru dalam memandang perbedaan di dalam kelas. Jika tidak, ini kemudian yang disebut sebagai cultural bias.

Cultural bias atau bias budaya dapat dihasilkan ketika sang guru hanya menitikberatkan pada satu entitas budaya saja, dan meminggirkan budaya atau identitas lainnya dalam proses pembelajaran. Misal, guru lebih cenderung mengistimewakan siswa dari suku X, dan sedikit mengabaikan siswa dari suku Y.

Bias budaya tidak hanya dapat dilakukan oleh Guru, namun juga melalui buku pembelajaran. Loewen dibukunya yang berjudul Lies My Teacher Told Me: Everything Your American History menulis bahwa mayoritas buku sejarah, baik SD dan SMP di Amerika, menulis kisah yang romantis mengenai bangsa Eropa di Amerika, namun pada saat yang sama melakukan misinterpretasi bahkan memarjinalisasi etnis minoritas yang ada di Amerika.

Oleh karena itu, Guru menjadi garda terdepan dalam memberikan pendidikan multikultural secara adil kepada siswa-siswi di kelas serta menjadi filter atas buku-buku pelajaran yang cenderung bersifat diskriminatif.

Masa Depan Toleransi Indonesia

Intoleransi memang bisa jadi duri dalam daging dalam kehidupan kita berbangsa. Namun, upaya penyelesaian intoleransi tidak cukup hanya dilakukan menggunakan pendekatan yang bersifat regulatif, misalnya melalui perda atau peraturan-peraturan mengikat lainnya.

Sepintas, peraturan serupa dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, namun sulit untuk merubah paradigma berpikir masyarakat secara berkelanjutan. Untuk itu, pendidikan sebagai pendekatan kultural dapat menjadi salah satu opsi strategis yang berdampak lebih lama, salah satunya menggunakan pendidikan multikultural.

Pendidikan multikultural memberikan ruang dialog dan diskusi mengenai perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat kepada para siswa dengan bimbingan sang guru. Dengan menggunakan pendekatan ini, setiap perbedaan yang ada di dalam masyarakat ditanggapi secara positif dan konstruktif kepada siswa sedini mungkin.

Hingga akhirnya, para siswa-siswi sadar bahwa bersama tidak harus sama, dan perbedaan tidak lantas menjadi jurang pembeda ketika kelak mereka bersosialisasi ke dalam masyarakat paska sekolah.

 

*Tulisan ini pertama kali terbit di Koran Suara Pemred Kalimantan Barat, Jumat 28 Desmeber 2018 dengan judul “Urgensi Pendidikan Multikultural di Tengah Intoleransi”

urgensi pendidikan multikulturalisme di tengah intoleransi
urgensi pendidikan multikulturalisme di tengah intoleransi
Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top