Agaknya, dari banyaknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, Korea Selatan sedang mengalami masa kejayaannya. Di sudut-sudut kota, kita saksikan bagaimana anak muda bergaya ala pemain serial K-Pop, barangkali sambil mendengarkan musik G-Dragon atau Big Bang. Tak hanya sampai di urusan pakaian dan musik, lidah mereka pun dipaksa untuk menyukai Bibimbab, Kimchi, dan Ramyong atau Samyang. Fenonema ini tak perlu kita pandang dengan penuh kesinisan, inflitrasi budaya terhadap sebuah bangsa memang kerap terjadi. Jangan kita lupakan dance hip-hop yang sempat ngehits dulu atau serial F4 yang sempat heboh beberapa waktu silam. Mereka tidak berasal dari Indonesia, melainkan dari negara luar. Namun, pada kasus Korea Selatan, ada yang lebih unik daripada hanya menikmati sajian musik, makanan atau cara mereka berpakaian. Adalah sebuah gaya hidup yang mereka sebut “pali-pali”, merupakan sebuah indoktrinitas budaya yang melekat kuat di alam bawah sadar masyarakat Korea selatan, dengan artian yang cukup sederhana namun perkasa: cepat-cepat.
Sebelum membahas tentang Korea Selatan dan segala kemajuan teknologinya, ada baiknya kita sama-sama tau bahwa kemerdekaan Indonesia dan Korea Selatan hanyalah terpaut 2 hari, ya 2 hari pada tanggal 15 Agustus 1945. Sejarah panjang Korea Selatan memang tidak bisa dilihat sebelah mata, ada proses kuat yang membentuk bagaimana akhirnya masyarakatnya berpola fikir dan bersudut pandang. Pada 1910, Korea pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang, dimana mereka hidup didalam bayang-bayang semu pemerintahan Jepang. Keadaan ini tidak ubahnya seperti Indonesia dibawah okupasi Jepang, dimana penindasan dan ketidakadilan kerap dipertontonkan. Namun, setitik harapan akhirnya muncul ketika Jepang mengaku kalah terhadap sekutu pada Agustus 1945 hingga terdeklarasilah pemerintahan Korea menjadi negara yang independen pada 15 Agustus 1945, yang pada 2 hari berikutnya disusul oleh negara kita, Indonesia. Namun, apakah korea langsung sejahtera seperti sekarang? Eits, tunggu dulu, 5 tahun berselang, tepatnya pada 1950 mereka mengalami perang saudara dimana hegemoni ideologi dunia bertarung diatas tanah para dewa ini, pertarungan antara Komunisme ala Soviet dan Liberalisme ala Amerika. Untuk hal ini, Korea Selatan didukung penuh dengan Amerika dan sekutunya dan Korea Utara dilindungi oleh Tiongkok serta Rusia. Perang berdarah bersaudara ini terjadi pada hampir 3 tahun pada 1953. Ini adalah salah satu perang saudara paling mencekam dimana perbedaan ideologi dapat memecah belah rakyat yang memliki satu darah dan titik sejarah yang sama. Walaupun pada saat ini perang sudah tidak lagi terjadi, faktanya, perjanjian damai belom pernah dilaksanakan—atau pada kata lain, perang dingin masih terjadi antara Korea Selatan dan Korea Utara.

Kemajuan Korea Selatan dapat dimaklumi karena sejak awal mula revolusi industri di Korea Selatan terjadi, mereka berfokus ada industri ekonomi. Hal ini berbeda jauh dengan tetangganya Korea Utara yang masih berkutat pada industri militer dan pertahanan. Namun, walaupun poros industri mereka terarah dan terukur pada satu poros sektor industri, tidak bisa dipungkiri bahwa politik luar negeri mereka pada akhirnya membawah dampak positif bagi kemajuan bangsannya. Amerika Serikat menjadi “kakak kandung” yang sangat penyayang bagi Korea Selatan, dimana alih teknologi dan informasi terjadi. Itulah kenapa, tidak sulit bagi Korea Selatan untuk menciptakan tekhnologi sekelas Samsung, LG, KIA, Hyundai dsb. juga mendapatkan proteksi penuh baik dalam sektor ekonomi, politik maupun pertahanan.
Pada titik inilah kebangkitan Korea Selatan ini dimulai. Korea Selatan yang porak poranda paska perang saudara mulai membenahi diri dan perekonomiannya, terbukti dengan didaur ulangnya mobil-mobil perang mereka untuk membuat kendaraan mereka sendiri. Di Museum Nasional Korea Selatan, terdapat mobil-mobil buatan Korea Selatan pada tahun 1960 yang terbuat dari sisa-sisa perang. Cepat sekali bukan? Sebenarnya, pada tahun 1960, kondisi ekonomi Indonesia dan Korea Selatan boleh dibilang setara, dimana kita masih berjuang untuk memperbaiki kondisi negara. Namun, semakin tahun, pergerakan Korea Selatan semakin melejit. Disinilah konsep pali-pali itu ditanamkan, dimana semua kegiatan Korea Selatan harus dapat diselesaikan dalam waktu yang secepat-cepatnya secara efisien. Sejak itu, Korea Selatan berfokus pada satu poros industri, yaitu industri ekonomi berbasis teknologi. Mereka memiliki Samsung, LG, Hyundai dan sederet pabrikan dunia ternama yang membuat ekonomi Korea Selatan menjadi panutan negara-negara dunia.

Kendati demikian, semua alih teknologi dan sederet kemajuan Korea Selatan tidak terjadi begitu saja. Itu semua terekonsturksi atas basis pemikiran sederhana yang ditanamkan pemerintah atas rakyatnya: pali-pali atau cepat-cepat. Bagi mereka, tak ada sesuatu pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan dengan cepat. Kalau manusia kurang cepat, maka haruslah dibuat robot yang lebih cepat. Jika masih kurang cepat, dibuat lagi dengan robot yang lebih cepat dst. Hal itu terjadi dengan konsisten menghasilkan sebuah negara dengan performa teknologi yang progresif. Pali-pali sebagai sebuah landasan fikir tidak hanya terjadi disktor teknologi, sosial masyarakat pun menggenggam itu dengan kuat. Tak heran, ketika saya berjalan bersama ibu angkat saya seorang Korea Selatan, ia berjalan hampir setengah berlari yang membuat saya terengah-engah untuk mengikutinya. Saya masih ingat sahutannya, “Come on, Indra, pali-pali!”
Dari semua itu, seharusnya kita semua belajar dari Korea Selatan. Mungkin bukan hanya pada tataran musik dan makanannya atau kosmetik serta atis-artisnya, namun bagaimana cara mereka berfikir. Bagaimana tidak, negara yang lebih tua 2 hari dari negara kita namun dengan kemajuan teknologi yang hampir berbeda 50 tahun dari kita saat ini. Dengan segala kesaktiannya, apakah adagium “alon-alon waton kelakon” atau pelan-pelan asal selamat yang ada pada masyarakat perlu kita ganti menjadi cepat-cepat asal selamat? Entahlah (*)