Beberapa tahun belakangan, isu kepemimpinan menjadi isu yang paling bergairah untuk dikupas. Manusia mengalami transformasi gaya, corak, dan karakter kepemimpinan yang turut serta memengaruhi sudut pandang manusia dalam menilai sesuatu. Pemimpin, dulunya haruslah memiliki tubuh yang besar, kekar, pasukan yang banyak, armada yang kuat serta penokohan heroik lainnya seketika berubah ketika tumbuhnya teori kepemimpinan yang marak di tengah-tengah masyarakat tentang kepemimpinan dari dalam diri (intrinsic leadership). Beberapa pelatihan kepemimpinan telah saya ikuti mulai yang bersifat diskusi, konferensi maupun mata kuliah pada pelbagai level secara umum memiliki dasar yang sama: mengajarkan kepemimpinan dengan cara modern. Kalaulah kepemimpinan gaya modern layaknya John C. Maxwell, Paul J. Meyer dan sederet orang barat lainnya sudah sering kita dengar, bagaimana halnya dengan Islam? Apakah Islam memiliki skema yang juga baik dalam hal kepemimpinan?
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam tentulah memiliki skemanya sendiri dalam membangun sikap kepemimpinan seseorang. Rasulullah Nabi Muhammad Saw adalah salah satunya disamping ribuan atau jutaan pemimpin muslim lainnya. Sebagai penganut kepemimpinan ‘Maxwellisme’, saya yakin dan percaya bahwa kepemimpinan adalah soal pengaruh. Namun, pengaruh saja tidak cukup, ia haruslah berkesinambungan. Richard Boyatzis, Professor dari Case Western Reserve University dalam kuliahnya tentang Resonant Leadership and the Neuroscience Behind It mengatakan bahwa emosional adalah hal yang terpenting didalam kepemimpinan dan pemimpin besar harus tahu bagaimana cara menginspirasi dan mengontrol emosi orang lainnya. Nabi Muhammad Saw, sebagai pemimpin besar paham benar akan hal ini dari jauh-jauh waktu yang silam. Menarik untuk mengetahui kunci Nabi dalam keberhasilan kepemimpinannya, maka izinkan saya dengan keterbatasan ilmu saya menulis tentang apa dan bagaimana kepemimpinan ala Nabi Muhammad, pemimpin lainnya dengan corak yang serupa dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. InsyaAllah.
1.“Bukanlah kami telah melapangkan untukmu dadamu?” [QS. Alam Nasyrah:1]
Lapang dada adalah kunci pertama. Bagaimana tidak, dakwah Nabi tidaklah dilalui dengan mudah, namun dengan tantangan dan rintangan. Lalu apakah beliau menyerah? Nabi terus menjalani misi dakwahnya dengan ikhlas dan lapang dada. Kelembutan hati dan sifat lapang dadanya menyentuh orang-orang lain pada masanya. Kisah tentang Nabi yang menyuapi wanita tua Yahudi buta, kisah tentang dakwahnya yang dilempari kotoran onta dan juga batu tentu bukan kisah yang asing bagi kita, umat islam. Lalu apakah nabi murka? Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda: “Orang yang perkasa bukanlah orang yang menang dalam perkelahian, tapi orang yang perkasa adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah” [HR. Al-Bukhari nomor 6114].
Berbicara tentang kelapangan dada, saya teringat tentang kisah Puteri Diana, manusia yang paling ramai dibicarakan di ruang publik pada tahun 1981 karena pernikahannya dengan Pangeran Charles dari Inggris. Namun, percaya atau tidak, kepopuleran beliau tidak terjadi ketika menjadi Puteri. Malah sebaliknya, ketika perceraiannya pada tahun 1996. Ia kehilangan gelarnya sebagai Puteri namun itu tak memengaruhi pengaruhnya. Ia aktif beramal untuk riset penyakit AIDS, pemeliharaan orang yang terkena lepra dan aktif menyuarakan larangan penggunaan ranjau darat. Bahkan, ketika ia meninggal, acara pemakamannya diterjemahkan kedalam 40 bahasa. Diperkirakan acara pemakamannya ditonton dengan total 2,5 milyar jiwa- lebih dua kali lipat daripada penonton acara pernikahannya! Kelapangan dada dan keikhlasannya mengantarkannya menjadi pemimpin yang jauh melebihi dirinya sebelumnya.
2. “Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang telah memberatkan punggungmu” [QS. Alam Nasyrah :2-3].
Nabi Muhammad Saw telah dijamin masuk surga oleh Allah Swt. Sebagai manusia tanpa dosa, jelas beban-beban dosa Rosulullah tidak ada. Berbeda dengan manusia biasa seperti kita, manusia yang penuh dosa yang karenanya ‘punggung’ kita terasa sangat berat. Karena ringan dan tidak ada beban dosa yang memberatkannya, maka naiklah derajatnya, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” [QS.Alam Nasyrah: 4]. Sebegitu tingginya nama beliau, bahkan harus bergandengan dengan nama Tuhan semesta alam saat manusia bersaksi atas kesilamannya ketika mengucapkan syahadat.
Dalam poin ini, saya menyederhanakan konteksnya secara horizontal, antara manusia dan manusia. Ada beberapa kisah pemimpin yang dengan kebaikannya menghilangkan beban orang lain hingga akhirnya diangkat derajatnya. Abdurrahman Wahid atau Gusdur misalnya, di dalam buku Seribu Doa Untuk Gusdur ditulis banyak kisah dari masyarakat etnis Tionghua yang sangat terbantu dengan Gusdur. Betapa tidak, Gusdurlah yang ‘mati-matian’ memperjuangkan hak-hak sipil kaum Tionghua yang ketika zaman itu dibatasi. Berbeda gusdur berbeda pula Abdus Salam. Seseorang ilmuwan yang berjuang sepenuh tenaga untuk memajukan negaranya Pakistan dalam sektor riset dan teknologi. Walaupun berat, mimpinya untuk membantu memajukan masyarakat Pakistan tidak pernah pupus. Gusdur, seorang yang kita kenal pada akhirnya menginjakkan kaki di Istana Negara sebagai seorang Presiden Republik Indonesia, dan Abdus Salam pada akhirnya menjadi penerima Nobel muslim pertama di dunia. Masya Allah.
3. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” [QS. Alam Nasyrah :5-6]
Nabi Muhammad Saw adalah orang yang optimis dalam setiap perbuatannya. Konsep kemudahan setelah kesulitan tertancap benar di hatinya. Dakwah yang diemban Rasulullah bukanlah dakwah yang mudah seperti yang kita rasakan. Karen Armstrong di dalam bukunya Muhammad: Prophet for Our Time menulis “Muhammad secara paradoks menjadi sosok pribadi yang tak lekang oleh waktu jusrtu karena beliau begitu berakar di dalam periodenya sendiri. Kita hanya bisa memahami pencapaian ini jika kita mau mengerti apa yang dihadapinya pada saat itu. Untuk dapat melihat kontribusi apa yang dapat diberikannya kepada kesulitan yang sedang menimpa kita sendiri saat ini, kita mesti memasuki dunia tragis yang menjadikannya seorang nabi hampir seribu empat ratus tahun silam.” Muhammad Saw menjadi ‘orang asing’ di antara kaum yang tak terlalu tertarik pada agama konvensional, kaum yang tidak punya harapan tentang kehidupan sesudah mati dan tak banyak keyakinan pada dewa-dewa yang tampak tak mampu untuk merubah nasib mereka. Nabi Muhammad kemudian perlahan mengubah ini dari seorang diri hingga akhirnya memiliki pengikut yang berjumlah banyak.
Hal yang serupa juga dialami oleh banyak pemimpin dan orang sukses saat ini. Chairul Tanjung dahulunya tidaklah sebesar sekarang saat membangun bisnis Trans Corp dan Bank Mega, melainkan anak yang hidup di kontrakan kecil di pinggiran Jakarta dengan hobinya membaca koran sewaktu kecil di pinggiran empang. Larry Bird harus berjibaku untuk berlatih melempar bola 500 kali setiap pagi hingga akhirnya menjadi pebasket legendaris. Begitu halnya dengan filsuf Demosthenes, walaupun terlahir dengan kelemahan berbicara, ia berlatih menghafalkan dan mengucapkan dengan nyaring ayat-ayat dengan mulut penuh kerikil di tepi pantai yang keras deru gelombangnya hingga membuatnya menjadi orator terbesar dizamannya. Para pemenang hebat tidak pernah mudah dalam meraih tujuannya, mereka penuh dengan dedikasi.
4.“Maka apabila telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain” [QS. Alam Nasyrah :7]
Nabi Muhammad Saw adalah orang yang aktif ketika mudanya. Beliau sangat disenangi di Mekkah. Sikapnya tegas dan sepenuh hati dalam apapun yang dikerjakannya, begitu tekun melaksanakan tugas yang dihadapinya sehingga beliau tidak pernah menoleh, meskipun jubahnya tersangkut di semak berduri (Muhammad: Prophet for our time, hal 57). Keaktifan Nabi Muhammad Saw sebagai pedagang yang sukses, pendakwah, dan pemimpin lantas tidak menjadikan beliau individualis dan menghilangkan sisi sosial beliau, beliau adalah insan yang sangat sosial kepada sesama. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana menjadi muslim yang baik? Rasulullah menjawab: “berikan makanan pada orang lain, ucapkan salam (berikan kedamaian) kepada orang yang kau kenal dan tidak kau kenal” [HR. Al-Bukhari no 12]
Kesungguhan dan ketekunan seseorang dalam mengerjakan sesuatu juga dilakukan oleh salah satu orang terbaik dan mantan Presiden Amerika, Theodore Roosevelt. Ia adalah seseorang yang aktif dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu. TR dikenal teratur berlatih tinju dan judo, naik kuda, serta mendaki gunung. TR pernah menjadi koboi di Wild West, penjelajah, pemburu serta tentara kavaleri di Perang Spanyol-Amerika. Ketika bertindak sebagai calon wakil presiden pada tahun 1900, ia memberikan 673 pidato dan menempuh jarak 20.000 mil sambil berkampanye. Pernah suatu ketika ia berpidato ketika ia menjadi presiden, ia tertembak di dadanya oleh pembunuh. TR bersikeras untuk tetap berpidato hingga pidatonya selesai baru kemudian ia dibawa kerumah sakit. Ia juga ditemukan meninggal di dalam keaadan tidur dengan buku dibawah bantalnya. Para pemimpin hebat selalu bersungguh-sungguh dan konsisten dalam melakukan sesuatu.
5. “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” [QS. Alam Nasyrah :8]
Nabi Muhammad adalah orang yang selalu berharap pada Allah swt. Sebagai manusia tanpa dosa yang dijamin masuk surga, Nabi tidak berhenti untuk berdoa dan berharap pada Allah Swt. Sikap demikian menunjukkan kerendahan diri Nabi sebagai insan manusia kepada Tuhannya. Bahkan Rasulullah di dalam sehari semalam memohon ampun dan bertobat sebanyak 70 kali.
Menurut saya, inilah kunci terakhir Nabi menjadi pemimpin sukses dan handal. Ia mengerjakan apa yang Ia bisa dan menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Allah Swt. Sebagai pemimpin, adakalanya kita dihadapkan pada sebuah persoalan besar sehingga membuat kita frustasi dan putus asa. Namun, ada baiknya kita berprasangka baik dan berharap agar Allah Swt menjadi penolong kita, Diriwayatkan dari Abu urairah r.a bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Janganlah kau ucapkan, ‘Ya Allah! Ampuni aku jika Engkau mau! Ya Allah! Berilah aku rahmat jika Engkau mau!’, akan tetapi berserah dirilah kepada Allah sepenuh hari (dalam berdoa dan lain-lain), karena tidak ada sapapun yang mampu memaksa/menentang-Nya.” [HR. Al-Bukhari no: 6338]. Allahu ‘alam bishshawabi