Beberapa waktu lalu, ketika acara pidato salah satu Gubernur di Indonesia, beberapa peserta kemudian melakukan walk-out, entah karena materi pidato sang Gubernur atau memang prebedaan cara pandang politik, entahlah, itu tak menyedot perhatian saya. Justru yang unik terjadi paska kejadian tersebut, dimana beberapa hari kemudian muncul tagar #UninstallTraveloka. Entah apa relevansinya antara Traveloka—bisnis penyedia tiket pesawat online—dan acara pidato tersebut, yang jelas disinyalir mereka saling berhubungan. Suka atau tidak suka, itulah yang kita alami, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan, boikot-memboikot.
Kalau kita mau sedikit mundur kebelakang, ketika perhelatan Pilpres digulirkan, Metro TV juga terkena imbasnya. Bagaimana tidak, survei cepat metro TV dianulir sebagai sebuah kebohongan, lalu muncul banyak tagar provikativ #BoikotMetroTV. Mulai dari seruan tidak membuka channel Metro TV, hingga tidak mempercayai apapun yang diberitakan oleh televisi tersebut.
Terdapat banyak hal demikian yang mengalami fenomena boikot tersebut, mulai dari produk makanan, publik figur, bahkan hingga suatu negara. Masih ingat kisah boikot Sari Roti? Starbucks dan McDonald juga tak luput dari objek pemboikotan, bahkan hingga Amerika sebagai sebuah negara. Hal ini terlihat sederhana jika dipandang sebagai sebagai reaksi masyarakat atas suatu fenomena, yang pasti berkaitan erat dengan aksi yang terjadi sebelumnya. Proses aksi-reaksi ini terjadi secara simultan, terus menerus, hingga mengakibatkan dead-lock dan boikot diambil sebagai jalan akhir jika tak ingin disebut jalan pintas.
Berbeda keberpihakan acapkali dianggap sebagai sebuah awal dari pemboikotan itu sendiri. Amerika misalnya, karena dianggap pro Israel, maka segala yang berbau Amerika harus ditolak. Demikian pula halnya dengan Traveloka tempo hari, karena pemiliknya disinyalir memiliki keterkaitan dengan kasus walk-out salah satu Gubernur, maka layak di boikot. Terlepas bahwa aksi walk-out juga setali tiga uang dengan boikot, namun apakah baik Amerika dan Traveloka tidak memiliki kebermanfaatan sama sekali? Berapa banyak jumlah investasi Amerika di Indonesia, dalam pembukaan lapangan pekerjaan, dll? Lebih lanjut, bisa saja para pemboikot tersebut merupakan pengguna jasa Traveloka sebagai penyedia tiket transportasi di Indonesia, bukan? Namun, selagi mereka memiliki pandangan yang berbeda, itu tak lagi penting. Boikot must go on!
Fenomena boikot sebenarnya tidak perlu terjadi jika masyarakat arif dalam menerima perbedaan, bahwa perbedaan dalam melihat sesuatu merupakan sebuah keniscayaan. Menginginkan keragaman berfikir didalam tatanan masyarakat majemuk nampaknya tidak mungkin dilakukan, dan boikot bukanlah solusi dalam pemecahan sebuah masalah. Apakah membuat ribuan karyawan di-PHK karena akibat dari pemboikotan sebuah produk lantas membuat kita bahagia? Lagipula apakah boikot memang efektif? Perhatikan saja mereka yang terkena dampak boikot, mereka justru lebih dikenal karena masifnya pemberitaan tentang mereka.
Arif dalam menerima perbedaan juga tidak selalu ditujukan kepada sebuah produk, namun juga bisa terjadi kepada publik figur. Karena alasan perbedaan pendapat, lalu salah satu Ustadz ditolak ceramahnya disebuah lokasi yang bahkan belom diketahui apa yang akan disampaikannya. Hal ini juga berlaku dalam konteks yang berbeda, namun coraknya selalu sama: perbedaan cara pandang.
Barangkali, boikot dalam komunitas masyarakat demokrasi tidak bisa selalu dipersalahkan. Karena bagaimanapun, boikot merupakan salah satu bentuk pelampiasan aspirasi melalui cara-cara tertentu, dan tidak boleh pula dipersoalkan. Mempersoalkan boikot sama anehnya dengan mempersoalkan perbedaan pendapat ditengah masyarakat, bukanlah sebuah penyelesaian. Namun, ada baiknya boikot diletakkan sebagai opsi terakhir dalam penyelesaian konflik, bahwa diskusi dan musyawarah dapat kita dahulukan dalam menyikapi setiap perbedaan.
Pada akhirnya, mungkin kedewasaan bangsa ini tidak tergambar lewat balutan angka yang selalu diperingati setiap 17 Agustus, namun lebih dari itu. Akan pentingnya masyarakat menerima perbedaan yang tidak hanya berbatas pada suku, agama dan ras saja, namun pula gagasan dan cara pandang. Indonesia butuh kekayaan yang tidak hanya berbentuk fisik, namun pula non-fisik seperti yang disebutkan diatas. Kalau berbeda pandang dan opini saja kita gagap, maka sampai kapanpun, kedigdayaan negara ini hanya ada pada ujung lipstik para retoris saja dan tujuan demokrasi hanya ada diangan-angan para filsuf tanpa pernah terejawantah kedalam perilaku masyarakatnya.