“Islam Yes, Partai Islam No”
Tadi malam, tepat 13 tahun mendiang Cak Nur meninggalkan bangsa Indonesia. Ada banyak sekali sumbangsih Cak Nur dalam ruang pikir dan diskursus mengenai Keindonesiaan, Islam, modernisasi serta demokrasi
Dari sekian banyak gagasan mengenai Cak Nur, gagasan tentang “Islam Yes, Partai Islam No” mungkin menjadi salah satu yang kontroversial. Ada banyak Partai Islam di Indonesia, berarti apakah kita tidak boleh memilihnya?
Tentu tidak separaktis itu berpikirnya. Yang saya tangkap dari narasi Cak Nur di atas adalah sebuah semangat Islam yang bersifat mutlak diatas seperangkat alat-alat keduniaan, partai islam misalnya.
Ada semangat Islam yang tidak boleh direduksi di dalam sistem kepartaian, walaupun partai itu berbasis kepada Islam sekalipun. Maka dari itu, fanatik terhadap partai merupakan sesuatu yang berbahaya, karena ia telah menggeser nafas Islam yang seharusnya diutamakan.
Pada konteks hari ini, semangat Cak Nur tersebut saya rasa masih relevan. Dalam persaingan apapun, baik dalam konteks pemilihan eksekutif maupun legislatif, agama terlalu sering dijadikan medium untuk akselerasi praktik politik praktis.
Maka yang terjadi adalah gesekan-gesekan horizontal yang bisa jadi, sama-sama mengatasnamakan agama itu sendiri. Padahal, kalaulah kita mau jeli, jelas ini merupakan sebuah kontestasi duniawi.
Hal ini juga tidak hanya berlaku pada partai Islam saja, namun juga termasuk tokoh-tokoh, organisasi maupun segala entitas yang melekatkan Islam sebagai labelnya. Tidak sepatutnya kita bersifat tunduk dan fanatik, bahkan sampai memusuhi sudara sesama kita yan memiliki pandangan berbedea. Padahal, itu semua hanya seperangkat mikro di dunia yang teramat luas ini.
Fanatik pada ornamen-ornamen keduniaan seperti di atas akan menjebak kita kepada pembenaran-pembenaran yang artifisial. Demi mendukung partai atau tokoh idola kita, kita membenarkan apa saja yang dilakukannya. Justru pembenaran semacam ini akan mematikan nalar berpikir.
“Islam Yes, Partai Islam No” jelas merupakan slogan saja. Artinya bisa diartikulasikan beraneka ragam, sesuai dengan konteksnya. Namun, semangat yang disampaikan Cak Nur di kalimat itu masih tetap sama. Pengaggungan agama di atas bentuk-bentuk keduniaan. Bukan sebaliknya, mengaggungkan dunia menggunakan nafas-nafas agama. Hingga kita pada akhirnya menjadi manusia yang bermanunggal, tidak tersandera oleh hasrat dan nafsu duniawi semata.