Indra Dwi Prasetyo

Kuliah untuk Pekerjaaan; Fakta atau Mitos?

Kuliah di Indonesia mungkin bukan barang mewah lagi saat ini. Di setiap sudut kota, hingga di daerah-daerah kecil, dapat dengan mudah kita temui Perguruan Tinggi yang menawarkan banyak jenjang pendidikan, mulai dari negeri hingga swasta, terakreditasi hingga abal-abal.

Fenomena ini agaknya susah ditemui di Indonesia, 10-20 tahun ke belakang, di mana kuliah di Perguruan Tinggi menjadi salah satu kemewahan yang hanya bisa dicicipi oleh segelintir orang, terlebih pada awal-awal Republik ini berdiri. Namun, saat ini, berbagai kemudahan dalam mengenyam pendidikan tinggi membantu masyarakat untuk dapat sekolah hingga jenjang tertinggi.

Dalam narasi yang sering saya temui, baik ketika mengisi seminar akademik ataupun kepemudaan di kampus-kampus, banyak dari teman-teman mahasiswa yang bias mendefinisikan apa tujuan kuliah mereka.

Di antara mereka ada yang menganggap perkuliahan adalah salah satu cara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Beberapa lagi di antaranya hanya sekadar tidak ingin menganggur pasca lulus sekolah. Sisanya, ada yang hanya ikut apa yang diperintahkan oleh orangtua mereka.

Yang menyeruak di permukaan saat ini adalah apa benar bahwa kuliah di Perguruan Tinggi untuk bekerja? Jika iya, bagaimana dengan mereka yang tidak kuliah? Jika tidak, bagaimana nasib mereka yang sudah dengan susah payah menyelesaikan studinya?

Perkuliahan pada dasarnya adalah mempelajari hal-hal baru yang barangkali tidak kita ketahui sebelumnya. Bagi yang kuliah di bidang Ekonomi, mungkin belajar tentang konsep-konsep Ekonomi yang belum dipelajari di bangku sekolah. Begitu pula dengan jurusan-jurusan lainnya. Pengetahuan itu akan lebih dalam dan mendetail ketika kita ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, misalkan S2 atau S3.

Dengan tingkat pengetahuan yang berjenjang dan semakin mendetail tersebut, sesungguhnya yang kita dapatkan di bangku perkuliahan cuma satu: ilmu. Ilmu yang tidak kita dapat di bangku pendidikan kita sebelumnya. Pertanyaannya, apakah ilmu ini berguna di dunia kerja? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.

Ilmu adalah satu pokok bahasan yang berdiri sendiri. Misal, saya belajar mengenai mata kuliah Bahasa dan Budaya. Saya mendalami dan menulis karya tulis tentang itu. Namun, apakah itu bisa dipakai secara langsung di dunia kerja? Tidak. Karena ilmu merupakan sebuah pokok pembahasan tersendiri.

Ilmu tersebut mengajarkan saya berpikir, bukan mencari uang. Jika ada ilmu yang menggaransi Anda untuk langsung siap bekerja, maka sudah pasti ilmu-ilmu yang sudah disesuaikan; atau ilmu terapan.

Misal, ilmu matematika. Kesukaan seseorang terhadap matematika tidak semerta-merta membuatnya bisa untuk mengajar matematika. Maka ia perlu ilmu terapannya, Pendidikan Matematika. Apakah kuliah di Pendidikan Matematika menggaransi kita bisa mengajar matematika? Belum tentu juga, tergantung seberapa jauh kita menguasai ilmu tersebut.

Nah, pada kondisi tertentu, ilmu-ilmu pengetahuan cukup abstrak untuk diartikulasikan langsung dengan dunia-dunia yang praktikal. Misal, saya belajar tentang Filsafat Agama, tentu akan sulit untuk mengaplikasikannya secara langsung dengan pekerjaan sebagai Guru. Atau, belajar mengenai Teori Kelas Karl-Marx, pastinya sulit untuk dipraktikan secara lugas oleh seorang wartawan.

Apakah sulitnya pengaplikasian ilmu tersebut di dunia kerja mengartikan bahwa ilmu-ilmu tersebut gagal? Tentu tidak. Itulah mengapa di awal saya katakan bahwa ilmu memiliki pokok sendiri: tidak berhubungan langsung dengan dunia pekerjaan. Namun juga tidak menafikan ada ilmu-ilmu yang bisa langsung digunakan di dunia pekerjaan, misalkan dokter, Guru, dan sebagainya.

Atas narasi tersebut di atas, maka skema yang terbentuk kira-kira seperti ini: Kuliah->Ilmu->Kerja. Secara tahapan, kita kuliah untuk mengenyam ilmu, dan ilmu itu yang kita gunakan untuk bekerja. Namun, apakah harus linear? Tentu tidak. Banyak mereka yang kuliah jurusan X, lalu bekerja di dunia Y, dan seterusnya.

Mengapa? Karena definisi ilmu tidak diartikan secara sempit. Bagi sebagian profesional yang saya temui, kuliah tidak hanya diartikan degan nilai-nilai semata. Namun lebih dari itu. Mereka bicara tentang keluasan berpikir, pengalaman, resistensi, jaringan selama kuliah dan hal-hal lain. Bukankah itu juga disebut ilmu?

Maka, untuk kita yang sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah, perlu ada pelurusan niat jika sebelumnya niat kita kuliah untuk bekerja. Karena niatan semacam itu rentan membuat kita abai tehadap esensi ilmu itu sendiri. Misal, rela melakukan hal negatif apa pun demi nilai dan ijazah yang baik yang akan kita gunakan untuk melamar pekerjaan. Padahal, esensi dari kuliah itu sendiri adalah menuntut ilmu.

Pekerjaan datang atas sintesis kita dalam memaksimalkan ilmu yang kita peroleh, dan sekali lagi, tidak ada yang bisa menggaransikan apakah ilmu tersebut benar-benar mampu mengoptimalkan kita di dunia kerja. Bisa saja teman kita terlihat biasa saja di kampus namun cemerlang di dunia kerja, dan sebaliknya, kita yang cemerlang di dunia kampus lalu terseok di dunia kerja. Bisa jadi salah satunya disebabkan oleh tafsiran kita terhadap ilmu itu sendiri.

Terakhir, ilmu adalah sebuah kaidah pengetahuan yang murni. Jangan dipersempit ruang geraknya hanya karena tujuan praktis pekerjaan semata.

Memang tidak ada salahnya, namun melakukan segala hal, bahkan yang bertentangan dengan nilai demi sebuah “ilmu” yang nantinya dipakai di pekerjaan nampaknya merendahkan hakikat ilmu itu sendiri. Kalau itu yang terjadi, tak heran mengapa banyak berseliweran praktik ijazah-ijazah dan kampus palsu belakangan ini.

Lalu, kuliah untuk pekerjaan itu mitos atau fakta?

 

*Artikel ini pertama kali terbit di Qureta.com pada tanggal 19 Juli 2018, https://www.qureta.com/post/kuliah-untuk-pekerjaan-fakta-atau-mitos

**Gambar diunduh di ngaskus-gan.blogspot.com

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top