Mengapa seseorang “terlahir” jenius?
Pertanyaan ini terlihat sederhana, tapi sebenarnya tidak cukup sederhana untuk dijelaskan. Pertama, kita harus mendefinisikan apa itu jenius. Setelah itu, pertanyaan yang lebih pelik sesungguhnya muncul, “mengapa bisa jenius?”
Saya pertama kali membaca tulisan Eric Weiner di bukunya The Socrates Express, dan lalu mencintai gaya menulisnya. Eric, kita sebut saja begitu, menjelaskan mengapa beberapa tokoh terlahir jenius.
Misalnya, kota Florence yang melahirkan da Vinci, Yunani yang membesarkan banyak filsuf, Wina dengan kehindahan musiknya di mana Mozart dan Bethoveen lahir hingga Sillicon Valley.
Saya tidak ingin membahas serius isi bukunya, silakan baca sendiri. Namun, ada hal menarik yang dapat saya pelajari bahwa para jenius adalah meraka yang lahir dan tumbuh dari waktu dan keadaan yang tepat.
Kita bisa saja mengagumi Yunani masa lalu karena melahirkan banyak pemikir peradaban, tapi apakah Yunani hari ini masih menjadi primadona para filsuf?
Jawabnya bisa iya atau tidak. Iya karena masa lalu tidak akan pernah mati, ia bertransformasi menjadi masa kini melalui Sejarah, tidak, juga karena masa lalu tidak dapat diulang sepenuhnya di masa ini.
1. Didewasakan oleh Sekitar
Bangsa China misalnya, memiliki peradaban yang berbeda dengan peradaban dunia lain pada masanya. Simpan dulu kotak bernama Eropa, pada zaman keemasannya, Eropa benar-benar bukan topik yang menarik untuk dibahas dibandingkan China.
Peradaban di Asia itu menciptakan banyak hal, dan tentu saja yang revolusioner, kertas.
Kita bisa berdebat mengapa ia demikian maju pada zamannya, tapi suka tidak suka, kultur China yang membuat mereka menjadi seperti itu.
Misalnya, kultur meminum teh.
Well, terdengar lucu, tapi tidak juga. Meminum teh tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Ia penuh dengan kontemplasi dan kehangatan. Dilakukan dengan relasi human-to-human interaction.
Hal ini tentu akan menghasilkan kebudayaan yang berbeda dengan wilayah yang memiliki kuliner berbeda pula.
2. What Does Not Kill You, make You Stronger
Leonardo da Vinci atau Plato, hidup di zama atau kondisi yang tidak begitu baik. Di Yunani, kemiskinan bukan aib, justru kekayaanlah yang perlu dipertanyakan.
Survival dalam menjalani kehidupan tak jarang membuat manusia mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Sudah tentu, saya tidak mengatakan kemakmuran adalah lawan dari kejeniusan, tapi ini adalah soal daya juang. Para jenius memiliki daya juang yang tinggi, dan bisa saja berbeda jika mereka hidup dalam ketercukupan.
3. Ekosistem yang Suportif
Alat yang saya gunakan untuk menulis ini diciptakan dan dipatenkan di Sillicon Valley, US. Jobs atau Gates barangkali adalah jenius paling cemerlang abad terakhir ini. Keberhasilan mereka tidak mungkin kita lepaskan dari bagaimana Amerika sebagai negara adidaya.
Saya hampir sulit membayangkan jika Gates lahir dan kuliah di salah satu kampus di salah satu negara miskin di Afrika. Kita tidak membicarakan rumus peluang yang pasti ada, namun, kecil kemungkinan Microsoft diciptakan.
Ekosistem yang suportif membantu banyak para jenius menemukan potensi terbaik mereka. Di setiap zaman, setiap negara (atau kerajaan ?) memiliki ekosistem mereka masing-masing. Dan di setiap masa, ada jenius yang terlahir dari sana.
***
Menciptakan atau menjadi jenius adalah pertanyaan pelik yang tidak bisa dijawab dengan sebuah postingan blog seperti ini. Ada banyak variabel yang terkait dan bisa jadi, faktor X yang tak tersentuh manusia.
Namun, layaknya bencana alam yang sulit diprediksi, tugas kita hanya mempersiapkan peluang terbaik untuk bertahan. Itu saja.
Belajar dari sekitar, berupaya dengan giat dan keras serta mencari ekosistem yang suportif merupakan beberapa cara yang bisa kita lakukan, untuk menjadikan kita “jenius”.
Kalaupun tidak berhasil, setidaknya akan menjadikan kita beruntung. Bukankan itu sudah cukup menyenangkan, bukan?