Suatu Hari di Belanda
Syahdan, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya.
Pagi itu, cuaca Belanda sedang dingin-dinginnya, Ketika trio revolusioner Indonesia, Dr. Tjipto mangunkusumo, Douwes Dekker dan Suwardi Surianingrat “dikirim” ke Belanda di tahun 1913. Pergerakan mereka semakin aktif, Ketika Suwardi, pada tahun 1916 menerbitkan jurnal IV–Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Setahun berlalu di 1917, IV berubah menjadi Indonesische Verbond van Studeerenden atau Persatuan Mahasiswa Indonesia. Sejak itu, kalimat Indonesia mulai diperdengungkan sebagai sebuah cita-cita mulia anak muda di tanah rantau yang terkenal dengan negara Kincir Angin tersebut.
Melanjutkan senior-seniornya yang sudah lebih dahulu belajar, generasi baru mahasiswa Indonesia tiba di tanah Belanda kemudian. Diantaranya ada Sutomo, Hatta, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Budiarto, Iwa Kusumasumantri, Iskaq Tjokrohadisurjo dan beberapa lainnya. Darah-darah baru tersebut membawa energi tambahan bagi Perhimpunan Indonesia, terutama di akhir 1922-1923. Iwa, yang saat itu menjadi ketua, menekankan pentingnya asas bergerak yang fokus pada (1) Indonesia menentukan nasibnya sendiri, (2), untuk itu, Indonesia harus dapat mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri serta (3), Indonesia harus bersatu. Poin-poin tersebut, pada akhirnya mewarnai setiap gerak-gerik mahasiswa Indonesia di Belanda, hingga akhirnya mereka pulang dan menjadi para founding father negara ini.
Anak Muda di Dunia yang Sempit
Kisah mengenai perjuangan para pendiri bangsa ketika mereka di Belanda, setidaknya memiliki tiga poin penting (1), persatuan antar anak bangsa, (2) internasionalisme dan (3) perjuangan kembali untuk Indonesia. Dalam poin pertama, mereka bisa saja menikmati kota-kota yang indah di Belanda, atau sesekali berkunjung ke tanah Eropa lainnya untuk kemudian menikmati studi mereka. Sayangnya, jumlah mereka yang terbatas waktu itu (38 orang di tahun 1926) membuat rasa persatuan diantara mereka semakin kental. Kedua, kendati mereka berasal dari negara yang teramat jauh, namun pergaulan mereka melampai tanah mereka lahir. Dalam perjuangan politiknya, misalnya, Hatta berkeliling Eropa untuk menggalang dukungan dari mahasiswa-mahasiswi global pada masanya. Upaya tersebut tidak lain dan tidak bukan sebagai bentuk perjuangan Hatta bersama teman-teman lainnya untuk Indonesia.
Hari ini, di dunia yang serba sempit di mana akses dan koneksi lebih mudah terjangkau, perjuangan para mahasiswa-mahasiswi Indonesia setidaknya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Upaya diplomasi dan komunikasi dapat dilakukan di ruang-ruang virtual, alih-alih dilakukan secara tatap muka langsung. Agenda Youth 20—side event dari gelaran G20 khusus untuk pemuda—merupakan contoh konkrit bagaimana anak muda menggunakan suaranya di forum global untuk saling berdiplomasi baik secara virtual maupun tatap muka. Ada 4 isu besar yang diangkat oleh anak-anak muda Indonesia selaku tuan rumah tahun ini: Ketenagakerjaan Pemuda, Transformasi Digital, Planet yang Layak Huni dan Berkelanjutan serta Keberagaman dan Inklusifitas. Empat topik besar tersebut merupakan topik yang relevan bagi anak muda dan melekat erat dengan anak muda dunia hari ini.
Agenda Youth 20 bukanlah satu-satunya, setidaknya, ada puluhan jika tidak ratusan agenda serupa di mana anak muda Indonesia berkumpul di satu negara untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. Merekalah “Hatta” masa kini yang memperjuangkan Indonesia di depan moncong microphone dengan gagah. Berkat dialektika yang dibangun, ada banyak kebijakan publik yang berubah, tergantikan atau tersempurnakan dari waktu ke waktu.
Aktivisme Klik
Beberapa rekanan saya mengkritik kerja-kerja diplomasi yang dianggap terlalu eksklusif tersebut, karena dianggap merepresentasikan jutaan orang melalui ruang argumentasi segelintir orang pilihan. Saya tidak dapat menyalahkan, juga tidak dapat membenarkan. Namun, sebenarnya, apa yang dilakukan oleh para diplomat muda kita itu hanya sebuah katalisator, untuk membuka keran-keran diskusi dan aksi lanjutan bernama aktivisme klik. Sederhananya, aktivisme klik adalah sebuah upaya diplomasi di ruang public menggunakan jari-jari di telepon seluler dengan platform online; menggunakan sosial media, misalnya. Dengan aktivisme klik, semua orang dapat memainkan perananan sebagai aktor yang dapat menyuarakan suaranya secara massif di ruang-ruang public, persis dengan apa yang Hatta dan teman-temannya lakukan dahulu.
Saya pikir, dengan ruang ekspresi dengan terbuka lebar untuk menyebarkan gagasan, setidaknya teman-teman muda Indonesia dapat memanfaaatkannya dengan 2 cara: memanfaatkan digital sebagai arena distribusi gagasan, serta menjalin akses dan koneksi ke anak muda di berbagai belahan dunia. Anak muda Indonesia dapat mengekstrak pembaharuan di bidang teknologi, pertanian, pangan hingga energi melalui aktivisme klik dan menjaring dukungan serta kolaborasi dari anak muda di negara lain. Dengan demikian, anak muda Indonesia akan menjadi mahkluk yang dinamis; berpikiran global namun bertindak secara lokal.
77 Tahun Merdeka
Izinkan saya untuk tidak mengulas ini dalam perspektif kemerdekaan Indonesia yang hingar bingar. Bukan karena saya tidak cinta akan Indonesia, namun kemerdekaan itu adalah noun (kata benda), bukan kata kerja yang aktif dan partisipatif. Kemerdekaan memerlukan sebuah kata kerja yang aktif, terus menerus dan kolektif, saya pikir itulah peranan anak muda: menjadi kata kerja bagi kemerdekaan Indonesia. Kata kerja meniscayakan sebuah upaya, tindakan dan gerakan yang dinamis agar dapat dikatakan sebagai kata kerja. Minum, misalnya, adalah sebuah upaya mendekatkan mulut ke gelas yang sudah sebelumnya kita tuangi air ke dalamnya. Sebuah proses yang meniscayakan upaya, tindakan dan ekspresi yang dinamis. Begitu pula dengan kata kerja lainnya.
Kata kerja anak muda Indonesia hari ini mungkin saja berbeda dengan kosa kata kerja para pendahulu kita di masa lalu. Misalnya, jarang dari kita mendengar istilah “menulis surat”, padahal itu adalah hal yang lumrah di masa itu. Pula sebaliknya, “work from home” merupakan kata kerja yang asing jika kita perdengarkan ke para nenek atau kakek kita. Apapun bentuk kata kerjanya, itu semua menjadi penting Ketika kita gunakan untuk kebaikan Indonesia, dalam hal apapun. Mereka di industri start up memiliki kata kerja mereka sendiri yang berbeda dengan mereka yang bekerja di bidang Kesehatan. Mereka yang fokus di pertanian juga memiliki kosa kata kerja yang berbeda dengan mereka yang bergelut di digital marketing. Apapun itu, selagi kita berupaya, bertindak dan bergerak secara dinamis untuk kebaikan Indonesia, kita adalah anak muda Indonesia hari ini.
Untuk menutup, mungkin, jika semua anak muda Indonesia mampu menjadi kata kerja yang relevan dengan kebutuhan Indonesia di hari ini, itulah makna realisasi dari kalimat: syahdan, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya.