Indra Dwi Prasetyo

Jokowi, Prabowo dan KUA

“Neng, kamu pasti suka masak dan belanja di pasar tradisional, ya?

“Kok tau , Mas?

“Habisnya kamu down to earth kayak Jokowi, eakkkkk”

“Kalau Mas, fitness dimana?

“Gak kok, cuma olahraga di samping rumah. Kenapa?

“Karena mas gagah banget kayak Pak Prabowo”

Percakapan di atas merupakan sebuah percakapan fiktif dimana sepasang insan yang sedang mabuk cinta berdialektika akan tokoh politik yang mereka idolakan. Apakah percakapan tersebut tampak sukar ditengah gejolak politik saat ini, dimana mereka pendukung Jokowi dan Prabowo cenderung berbeda pandangan dalam apapun; apalagi cinta! Namun, apakah memang bahwa dikotomi Jokowo-Prabowo akan melahirkan fenomena perbedaan sudut pandang dalam segala aspek di tengah masyarakat? Tapi, akan sampai kapan?

Kalau kita boleh jujur, masyarakat Indonesia seakan terbelah menjadi 2 golongan besar paska pemilu 2014 kemarin. Sebagian masyarakat berpihak kepada Jokowi dan partai pengusungnya, sebagian sisanya memilih Prabowo pula dengan segala mesin politiknya. Barangkali ada pula mereka yang terkesan netral dan tidak mengumbar keberpihakannya, mereka cenderung untuk memerhatikan saja saja riak-riak gemuruh yang adak disekelilingnya.

Dalam prosesnya, dinamika politik ini melahirkan beberapa kamus kata baru. Kita sebut saja bani kotak-kotak, bani serbet, IQ 200 sekolam, kaum bumi datar, antek-antek asing dan lain sebagainya. Ucapan berdana sarkasme ini dapat dengan mudah kita jumpai di tengah pergumulan sosial kita sehari-hari, mayoritas di tengah media sosial kita. Debat-debat politik yang terjadi akan di lampiaskan melalui nada-nada nyentrik nan emosional tersebut.

Hari ini, mungkin dapat kita katakan 4 tahun paska PilPres kemarin, namun auranya benar-benar tidak hilang. Kita masih saja merasakan aroma politik serasa PilPres didalam segala aktivitas masyarakat. Mereka yang mengkritik pemerintah seketika langsung di claim pendukung Prabowo.

Sebaliknya, mereka yang mendukung pemerintah dikatakan pendukung antek asing. Kalau saja ini diteruskan, bahkan hingga selesainya PipPres 2019 mendatang, bukankah energi kita habis untuk hal yang sia-sia seperti ini?

Sesekali saya bertanya kepada mereka pendukung salah satu tokoh di atas: “Yang sebenarnya kamu dukung itu kepentingan rakyat atau tokoh politik, sih?” Ya bisa saja mereka mengatakan, rakyat di atas segalanya. Namun, cobalah lihat secara lebih gamblang, perilaku politik partisan selalu mewarnai corak pikir dan perilakunya.

Kalau saja ada partai pendukung salah satu tokoh tersebut yang melakukan korupsi, lalu itu dianggap skenario jahat dan konspirasi! Kalau saja pemerintah melakukan blunder melalui kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat; ada saja pembelaannya dari para pendukungnya. Lantas, saya tanya sekali lagi, sebenarnya siapa sih yang kamu bela?

Mereka yang berdiri di tas kepentingan rakyat akan sekuat tenaga berpikir jernih untuk berhenti melakukan politik tokoh paska PilPres. Terkecuali mereka yang bekerja untuk itu, misalnya, politisi. Namun, bagi masyarakat awam, agaknya tidak perlulah kita melakukan hal yang menutup dan hati kita sebagai warna negara.

Persoalan pemilihan Presiden sudah selesai paska pengumuman KPU. Sisanya, bekerja dan berpikir. Bukan sibuk mengkritisi dan mendukung buta! Kalau ada yang salah, dimanapun letaknya, dikritisi. Kritisi inipun tidak hanya parsial kepada tokoh atau partai yang anda senangi, namun harus holistik.

Kenapa? Karena dibawah kita ada masyarakat yang sangat awam yang kurang terdidik, juga tidak terlalu peduli dengan politik. Maka, sebagai anak muda yang mengenyam pendidikan, tidak seharusnya energi kita dihabiskan untuk terus berdebat, Ahok atau Anies? Prabowo atau Jokowi?

Padahal, di saat yang sama, banyak warga lokal yang menjadi korban kekangan koorporasi. Di Kalimantan Barat, banyak kita temui konflik agraria antara perusahaan sawit dan masyarakat lokal, lalu apa jawabannya ada di pilkada DKI?

Kisah petani Kendeng yang sempat juga menjadi isu nasional, apakah tidak lebih layak kita bicarakan daripada mengritisi cara sholat Presiden Jokowi? Persoalan Indonesia sungguh sangat kompleks, mulai dari isu regional hingga nasional, dan itu memerlukan buah pikir yang tulus dan lurus untuk dapat dipecahkan. Pemikiran yang cenderung bias dan partisan akan mengganggu objektifitas pikir kita dalam melihat problematika sosial di atas.

Dengan berpijak pada kepentingan rakyat, maka kita akan melihat politik dengan lebih woles (baca: nyantai). Partai ataupun tokoh politik merupakan ujung tombak dari perjuangan politik itu sendiri untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Maka, jika kita mampu menerima perbedaan pandangan politik dengan woles, kita akan mampu berpikiran lebih terbuka dan holistik.

Begitu kita menyaksikan keburukan, kita akan satu paham itu adalah keburukan. Ketika itu adalah sebuah kebaikan, kita akan satu suara itu adalah kebaikan. Apapun partai dan pilihan politiknya. Tokoh terkemuka Turki, Said Nursi pernah sesekali berujar: “Tidak ada yang patut dicinta selain cinta itu sendiri dan tidak ada yang layak dibenci selain benci itu sendiri.”

Maka, berpolitik secara woles akan menyalakan pelita pikir kita untuk terbiasa dan fleksibel terhadap pandangan politik yang berbeda. Bahkan, mereka yang berbeda akan kita anggap sebagai rekan berpikir untuk sepenuhnya kepentingan rakyat.

Bukannya sebagai antek asing, anti-NKRI, pemecah kebhinekaan, atau apapunlah sebutannya. Jika kita mampu untuk berbuat demikian, maka persoalan antara Jokowi atau Prabowo bukanlah sebuah nilai yang besar lagi. Tidak lagi ada gagah-gagahanan yang bilang AKU dan KAU saat menyelesaikan debat politik, namun, bagaimana kalau kita menyelesaikannya di KUA?

 

“Anyway, Neng suka makan cokelat ya?

“Ihhh, kok tau, Mas! aku manis ya? hihi”

“Gak, giginya item ada sisa cokelat”

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top