Indra Dwi Prasetyo

Gus, bolehkah meminjam kacamatamu?

Gusdur

“Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, jadi tolong hargai lima agama yang lain”- Gusdur

7 September 1940, terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil, Gusdur kecil lahir dari rahim ibu bernama Hj. Sholehah, putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan K.H Wahid Hasyim, sang nasionalis yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama republik Indonesia pada tahun 1949. Sebagai seorang santri yang menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, pemahamannya akan agama begitu luas. Namun tak berhenti sampai disitu, sikap agama yang dibawanya ia ejawantah secara holistik ke dalam masyarakat sosial, kehidupan berbangsa dan bernegara. Pernah Ia begitu geram ketika terjadi perusakan rumah ibadah salah satu agama di Indonesa. Pernah pula Ia kesal melihat masyarakat dengan kepercayaan tertentu tidak diijinkan untuk merayakan bentuk perayaan spiritualnya di tengah masyarakat, masyarakat Tionghua dan agama Konghucu misalnya. Ialah manusia pertama yang ketika menjabat sebagai Presiden yang menghilangkan sekat-sekat tersebut dengan menjadikan Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia dan menyelenggarakan perayaan Imlek secara Nasional untuk pertama kalinya (silahkan baca “Sejuta Doa untuk Gusdur” untuk melihat kisah dan perjuangan Gusdur lainnya).

Prinsip Gusdur sebenarnya sederhana, al-nafs al-muthmainnah, atau menjadi pribadi dengan jiwa yang tenang yang mau dan mampu menyelaraskan antara Islam dan Indonesia secara seimbang. Di dalam bukunya Ilusi Negara Islam (2009), ia berkata bahwa Pancasila secara esensi tidak bertentangan dengan Islam. Justru sebaliknya, Pancasila hadir sebagai refleksi pesan-pesan semua agama:  yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al’ammah, the common good). Itulah kenapa dibukunya yang berbeda– Islamku Islam Anda Islam Kita (2011), Ia mengatakan bahwa formalisasi sebuah agama dalam tatanan masyarakat yang majemuk tidak dapat dibenarkan. Ketika ditanya, “Wajibkah adanya negara Islam untuk dapat melaksanakan syariah?”, Gusdur menjawab santai, “Tidak wajib”, karena menurutnya, wajibnya syariah tidak lantas menjadi pembenaran terlebih pemaksaan akan entitas sebuah negara Islam (Rachman, 2011).

Bukan hanya didalam keagamaan, dalam hal politik dan kebangsaan, Gusdur yang notabene tidak menyelesaikan bangku kuliahnya baik di Mesir maupun di Irak ini begitu komprehensif. Di basis NU (Nahdatul Ulama) sendiri, gusdur membangun civil society yang kokoh, penguatan sipil dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Oleh Prof. Syam, pada periode ini Gusdur membangun NU dan demokrasi, NU dan pluralisme, NU dan kebebasan politik serta NU dan nasionalisme kebangsaan (http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=867). Puncaknya ialah saat Ia mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan bermanuver secara total di Politik hingga menjadi Presiden Republik Indonesia. Yang digagas Gusdur bukanlah hal yang lumrah pada zaman itu, sebuah pergerakan transformatif: dari santri ke parlemen! Namun, Gusdur tetaplah Gusdur, karir politik tak membuatnya jumawa. Ketika santer keinginan untuk impeachment atau pelengseran kekuasaan oleh legislatif, tak sedikitpun langkah politik Ia tempuh. Tak menghujat adanya konspirasi, kecurangan tersistem, dsb. Gusdur malah keluar dari Istana Presiden menggunakan kaos oblong dan celana pendek. Ketika diundang dalam acara Kick Andy, Andy bertanya motif Ia melakukan itu, dan dengan sederhana ia menjawab bahwa tak perlu ada kekuasaan yang dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyat sendiri.

Gusdur meninggalkan istana negara dengan hanya menggunakan kaos dan celana pendek sebagai simbol bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi

 

Dari Gusdur, kita sebenarnya sedang belajar; belajar untuk memaknai diri kita sendiri lebih dalam. Bahwa manusia itu makhluk yang paling sempurna dari semua makhluk ciptaan Tuhan itu benar adanya, namun ketidaksempurnaan manusia itu sendiri sebagai sebuah makhluk juga tak bisa dielakkan. Oleh karena itu, pemaksaan dan klaim diri sebagai superior terhadap manusia lainnya nampaknya bukanlah cara yang konstruktif didalam tatanan masyarakat yang plural dan demokratis ini. Ditengah gonjang-ganjing serta hiruk-pikuk saat ini, untuk dapat melihat bangsa ini dengan lebih gamblang, bolehkah aku meminjam kacamatamu, Gus?

 

Referensi:

Rachman, B. M., & Anwari, T. (2011). Membela kebebasan beragama: percakapan tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Jakarta: Democracy Project.

Wahid, A. (2009). Ilusi negara Islam: ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.

Wahid, A. (2011). Islamku, Islam anda, Islam kita: agama masyarakat negara demokrasi. Jakarta: Democracy Project.

Sumber gambar: http://santrigusdur.com/category/tulisan-tentang-gus-dur/page/4/

 

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top