Indra Dwi Prasetyo

Full-Day School dan Korea Selatan

Sambil lalu, saya memulai diskusi santai dengan teman asal Korea Selatan beberapa waktu lalu, lebih tepatnya tahun lalu.

“Kalian sekolah berapa lama sih?” Tanyaku serius.

Teman Koreaku menjawab santai,

“Kami kalau yang SMA Ndra sampai sore, tapi biasa teman-teman tidak langsung pulang. Ada yang belajar kelompok, mengerjakan ekstrakulikuler, dan bahkan hingga larut malam”.

———————————————-
Itu adalah sepenggal percakapan saya ketika berbicara dengan teman Korea Selatan saya. Beruntungnya, setelah itu saya diberi kesempatan untuk melihat langsung Korea Selatan, budaya juga pendidikannya. Tepat sekali, pukul 5-6 sore misalnya, saya masih melihat anak-anak kecil di sekolah untuk belajar bersama temannya. Lalu anak-anak yang agak dewasa bermain dilapangan bersama rekannya dan sebagainya. Lalu aku berfikir, konsep sekolah seharian/Full-Day School (FDS) semacam Korea Selatan ini, apakah bisa dipakai di Indonesia?

Disatu sisi, FDS bagi beberapa ahli memiliki beberapa keunikan dan keuntungan tersendiri, baik bagi guru yang mengajar ataupun bagi siswa-siswi yang diajar. Hasil belajar mereka relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa-siswi yang hanya belajar setengah hari (silahkan rujuk Elicker,
2000; Fusaro, 1997; Guarino, Hamilton, Lockwood, & Rathbun, 2006; Lee et al., 2006; Walston & West, 2004). Tidak selesai sampai disitu, FDS juga merupakan salah satu metode yang baik dimana guru dapat lebih bereksplorasi dalam metode pembelajaran serta kurikulum yang berbeda (silahkan rujuk Elicker & Mathur, 1997; Walston & West, 2004). Dari sini, kita sebenarnya bisa memahami kenapa FDS memiliki peran penting dalam meningkatkan akademik siswa, juga kreativitas guru. Implementasi FDS juga diharapkan hadir sebagai pengisi ruang akademik dan ekstrakulikuler bagi siswa di sekolah ( http://solo.tribunnews.com/2016/08/09/ini-maksud-dan-tujuan-full-day-school-yang-jadi-wacana-mendikbud-bukan-berarti-belajar-seharian).

Namun, penting untuk diingat bahwa sekolah bukan hanya tentang akademik, namun juga kemampuan interpersonal; bagaimana siswa dapat bertinteraksi di masyarakat sosialnya. Terlebih, ruang lingkup sekolah terasa begitu kecil jika dianggap mampu memenuhi kebutuhan interpersonal siswa. Bahkan, siswa-siswi FDS diklaim memilki keterampilan interpersonal yang tidak lebih baik, atau bahkan lebih rendah dari rekanan mereka yang seklah setengah hari (silahkan rujuk Vi-Nhuan, Kirby, Barney, Setodji, & Gershwin, 2006). Hal ini mungkin dapat dimaklumi, dimana siswa banyak menghabiskan waktunya disekolah, dan terbatasnya waktu siswa di lingkungan rumah, teman sepermainan di sekitaran rumah, atau bahkan menguras waktu bagi siswa yang seharusnya membantu ibu bapaknya untuk bekerja sepulang sekolah. Hal semacam ini sejatinya tidak dapat dilihat sebelah mata, karena bagaimanapun, aspek sosio-kultural masyarakat yang membentuk identitas siswa tidak dapat di jeneralisir dan dieliminasi.

Apapun alasannya, FDS memang tidak bisa dilihat menggunakan sepasang kacamata saja, namun dari berbagai aspek yang berbeda. Kalau memang FDS diimplementasikan diseluruh Indonesia, mungin ada baiknya diperlukan seperangkat strategi yang “khas” ala Indonesia, agar implementasi ini tepat sasaran dan menghasilkan luaran siswa-siswi yang cakap didalam akademik, ekstrakulikuler dan interpersonal mereka. karena biar bagaimanapun, Indonesia bukanlah Korea Selatan.

Indra Dwi Prasetyo,
Alumni Pertukaran Pemuda Indonesia-Korea Selatan 2016
Anggota Aksi Sedekah Pendidikan

Sumber gambar: http://sebarr.com/9226/jokowi-akan-anulir-kebijakan-full-day-school

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles
“Saya berpikir, “bagaimana bisa seseorang yang menyerupai petani beranalisa begitu tajam?’ Sesudah kami berbincang
Dalam tatanan budaya ketimuran, ada satu gestur tak tertulis yang sering kita jumpai di

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published.