Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan dengan tersebarnya SK pengangkatan petugas BIN di seluruh media sosial miliknya. Hal ini, tentu sontak menjadi pemberitaan panas di media-media mainstream. Belum lagi cerita tentang segerombolan anak muda yang selfie hingga merusak bunga di taman bunga beberapa waktu lalu, turut serta pula disebarluaskan di internet, hingga tarian Sambalado yang ditirukan oleh seseorang aparat kepolisian yang akhirnya menjadi viral di Youtube. Hal-hal semacam ini akan semakin banyak kita temukan ketika kita berselancar di jejaring sosial milik kita. Peduli atau tidak, inilah gaya berselancar internet masa kini, cekrek-share!
.
Beberapa tahun yang lalu, 2012, pengguna Twitter Indonesia berada di kisaran 19,5 juta pengguna, dan lebih dari 42, 5 juta orang Indonesia memiliki akun Facebook. Barang tentu tren ini akan terus menaik setiap tahunnya, terbukti pada tahun 2014 pengguna Facebook di Indonesia berada di kisaran 62 juta pengguna, sungguh bukan jumlah yang sedikit. Beberapa mungkin menganggap fenomena ini sebagai hal yang biasa-biasa saja, namun tidak sedikit juga yang sebaliknya. Masih ingat ketika Pemilihan Presiden beberapa waktu lalu? Media sosial memiliki peran yang kuat dalam membentuk kerangka berfikir sosio-politik para penggunanya. Bahkan tidak sedikit berujung konflik; konflik dunia maya. Dengan banyaknya penggua media sosial di Indonesia, hal-hal itu nampaknya bukanlah hal yang aneh. Namun, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan, media sosial telah menemukan pattern-nya dalam beraktifitas sosial; BBS (Buka-Baca-Sebar).
.
Fenomena click-activism alias buka-baca-sebar memang menjadi sebuah fenomena unik didalam bermedia sosial beberapa waktu ini. Di media sosial Twitter misalnya, hampir 53 % jumlah tweeps yang dibuat, di-retweet kembali oleh follower mereka. Unik lagi, di Indonesia terkenal dengan istilah “kultwit” atau kuliah twitter, dimana seseorang mengemukakan pendapat secara sistematis di media Twitter untuk membahas sebuah persoalan secara komprehensif. Tidak mengherankan, banyak kemudian lahir kutipan-kutipan ulang sesorang berseliweran di lini masa Twitter. Facebook juga tidak kalah menarik! tombol “share” terpampang dengan rapi di setiap status atau tulisan yang dibuat tepat di pojok kanan bawah. Seseorang bisa bahkan berkali-kali membagikan tulisan tersebut sesuka hatinya di halaman pribadi maupun grup yang dianggapnya sesuai. Fenomena ini membuat promosi ataupun iklan dapat dengan mudah menjangkau sesorang dimanapun, kapanpun tanpa pandang bulu.
.
Click-activism sebagai sebuah pola baru media sosial, tentu memiliki nilai lain yang tak kalah positif. Barang kali kita semua tau, platform petisi Change.org yang meniscayakan pengguna internet untuk memberikan petisi kepada seseorang atau instansi atas sebuah kebijakan atau tidakan yang dilakukannya, bukan?. Penyanyi Glenn Fredly pada 2014 pernah memulai petisi dengan tagar #SaveAru yang meminta dibatalkannya Kepulauan Aru untuk perkebunan Tebu. Petisi itupun akhirnya berbuah manis, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan memastikan tak akan menyetujui pelepasan ratusan ribu hektar hutan lindung tersebut. Kemudian tahun 2015 lalu, banyak kebijakan-kebijakan publik kontroversial yang akhirnya dibatalkan berkat petisi yang dibuat oleh netizen, pengguna internet, dimulai dari isu Pilkada Pilkada Tak Langsung yang pada akhirnya DPR RI menyetujui Perppu Pilkada Langsung untuk menjadi Undang-Undang. Lalu tidak kita lupakan desakan publik atas pencopotan Budi Waseso dari statusnya sebagai Kabareskrim beberapa waktu lalu. Setelah tiga bulan menggalang dukungan, akhirnya Budi Waseso dicopot sebagai Kabareskrim. Masih ingat Muhammad Kusrin, yang tempo lalu TV buatannya di musnahkan? Kurang dari seminggu, lebih dari 27 ribu orang melakukan petisi yang menghasilkan pemberian Sertifikat Produk Penggunaan Tanda – Standar Nasional Indonesia (SPPT – SNI) oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin kepada Muhammad Kusrin.
.
Click-Activism mau tidak mau sedikit mengubah persepsi masyarakat akan pentingnya sebuah dukungan sosial terhadap seseorang atau kebijakan. Fenomena click-activism menyadarkan kita bahwa sekecil apapun perjuangan kita melalui buka-baca-sebar toh pada akhirnya menyelamatkan atau bahkan mampu merubah banyak kebijakan-kebijakan besar baik dalam tataran koorporasi, legislastif, hingga eksekutif. Saya tidak mengatakan bahwa mereka yang menyuarakan aksinya lewat demonstrasi di jalan raya tidaklah efektif, bukan demikian. Ini masalah perspektif anak muda masa kini, bahwa partisipasi aktif anak muda tidak dapat lagi dilihat dari keringatnya ketika ia harus turun kejalan, namun dapat dengan melakukan berbagai agenda propaganda, salah satunya ala click-activism ini. Dan, pada akhirnya manusia modern dewasa ini lebih dinilai dari perawakan serta buah pikirnya yang berseliweran di lini masa online, baik berupa tulisan, ataupun gambar, bukan mereka di dunia nyata. Maka tidak berlebihan kiranya, jika adagium “you think, therefore you are” milik filsuf Rene Descartes di masa serba online ini berganti menjadi “you share’, therefore you are”, kita adalah apa yang kita sebarkan. Fenomena Click-activism, bridging or dividing? Tergantung jari telunjukmu!