2400 tahun yang lalu, Socrates pernah berkata:“Cara untuk memperoleh reputasi yang baik adalah dengan berusaha menjadi apa yang anda inginkan di depan orang banyak”
Dua minggu yang lalu, saya sempat menulis melalui status Facebook, berisikan kira-kira seperti ini: “bahwa mereka yang mencitrakan pekerjaan mereka di media sosial, akan selangkah lebih maju dengan mereka yang tidak melakukannya”. Saya juga sudah pernah menulis tentang pentingnya pencitraan (disini). Namun, pada edisi kali ini, saya akan mengelaborasi lebih lanjut perihal pencitraan, lebih khusus melalui media sosial. Saya menyebutnya, digital personal branding.
Namun, sebelum kita masuk lebih jauh, ada baiknya kita sama-sama mengetahui apa itu personal branding. Dulu, ketika dunia teknologi dan informasi seperti saat ini, istilah branding hanya diucapkan pada sebuah produk bisnis, tentang bagaimana sebuak produk tersebut dicitrakan. Misalnya, saya ingin membuat kue khas Kota Singkawang, tempat kelahiran saya. Maka, agar kue itu benar-benar terlihat seperti kue Khas Kota Singkawang, saya harus membrandingnya dengan baik layaknya kue dari Singkawang, mulai dari penamaan, kemasan, hingga resepnya.
Begitupula dengan personal branding. Jika contoh di atas terjadi pada benda mati, personal branding menjadikan diri kita sendiri sendiri seolah-seolah seperti sebuah produk. Kalau dulu orang berjualan produknya menggunakan poster atau baliho, personal branding abad ini berfokus pada media sosial sebagai perantara. Itulah yang saya sebut di atas sebagai digital personal branding.
Mengapa personal branding di media sosial saat ini begitu penting? Setidaknya saya memiliki tiga alasan, yuk kita simak.
- Membangun Citra Diri
Membangun citra diri atau istilah saat ini sebagai “pencitraan” merupakan salah satu elemen penting dari personal branding. Dulu, ketika pertama kali frase ini dimunculkan, Tom Peters (1997) menggunakan strategi personal branding pada karyawan perusahaan sebagai “iklan” gratis bagi perusahaan dan CEO mereka. Caranya bagaimana? Para krayawan tersebut berperilaku seperti layaknya nilai-nilai yang diadopsi oleh perusahaan. Dengan demikian, dengan melihat tingkah laku karyawan, orang akan secara langung teringat akan perusahaan tempat mereka bekerja.
Nah, buat yang tidak memiliki pekerjaan atau perusahaan, apakah hal itu masih bisa berlaku? Tentu saja. Personal branding dapat digunakan bagi individu untuk mengampanyekan nilai-nilai yang ia anut kepada orang lain. Misal, saya ingin memperkenalkan budaya minum tanpa pipet sebagai langkah konkrit menyelamatkan bumi, maka saya bisa membuat postingan tentang itu di media sosial atau membuat video di Youtube tentang apa yang saya kampanyekan. Dengan demikian, orang akan dengan sendirinya mengasosiasikan kita dengan nilai yang kita bawa.
Namun, sebelum kita memutuskan untuk mengampanyekan nilai atau sebuah gagasan yang kita bawa, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah bertanya kepada diri kita sendiri: “What do you want to be known for?“. Maka, setelah kita tahu akan seperti apa dimata orang lain, kita bisa memulai untuk “memperkenalkan” diri kita di media sosial. Semakin baik citra kita di media sosial, akan semakin bagus pula citra diri kita yang terbangun.
2. Belajar Menjadi Profesional
Dalam sebuah risetnya yang bertajuk “The Impact of Executive Personal Branding on Non-Profit Perception and Communcations“, Nolan berkata bahwa media sosial tidak saja bisa digunakan untuk sekadar menulis profil kita, namun lebih dari itu, media sosial bisa kita gunakan untuk meningkatkan reputasi kita Dalam tulisannya, ia menyebut: “From personal to profesional”.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal itu karena menggunakan media sosial, kita berarti sedang “memakai” atribut-atribut profesional yang ada di profil kita, misalnya kantor tempat bekerja, atau universitas tempat kita belajar. Dalam beberapa contoh misalnya, ketika seseorang menyalahgunakan media sosial melalui postingannya, Bos perusahaan tempat mereka bekerja langsung meminta maaf atas ulahnya. Itulah mengapa, pertalian profesional dari “who we are”, akan terikat erat dengan “what we expose” di media sosial.
Tentu saja kita bisa mendebat premis di atas dengan mengatakan bahwa media sosial adalah ranah personal, bukan urusan pekerjaan. Memang betul, namun kekepoan netizen tentang siapa kita tidak bisa kita hindari. Itulah mengapa, membangun personal branding yang positif akan membantu kita dalam meningkatkan profesionalisme kita juga. Kalau bahasa saya, gabungkan urusan personal dan profesional di media sosial “yang sedang-sedang saja”. Hihi
3. Mendapatkan Pekerjaan
Loh, apa hubungannya personal branding dengan pekerjaan? Banyak. Dari pengalaman saya sendiri, maupun dari beberapa teman saya, banyak kami mereka yang ditawari pekerjaan karena “added values” di dalam diri kami yang di expose di media sosial. Semua itu karena apa? Personal branding yang dibangun. Misalnya, beberapa waktu yang lalu, profil saya diangkat oleh salah satu media sosial anak muda yang cukup bonafit di Indonesia. Tidak lama berselang, saya dihubungi salah satu perusaan yang bergerak untuk anak muda meminta saya menjadi ambasador mereka.
Tidak hanya melalui “perkepoan” seperti di atas, untuk yang sedang melamar kerja saja, banyak yang meminta kita untuk memasukan media sosial kita di CV kita. Untuk apa? Pengalaman saya, media sosial kita akan dijadikan salah satu alat ukur untuk menilai bagaimana diri kita di keseharian. Jika nilai tambah yang kita berikan di sosial media sesuai dengan apa yang perusahaan inginkan, kemungkinan besar kita akan diterima. Begitupula sebaliknya.
Dari tiga pemaparan di atas, kita bisa sama-sama melihat bagaimana personal branding di media sosial tidak dapat dilihat hanya dari sebelah mata. Personal branding yang digarap secara apik akan memperkuat citra dan reputasi kita secara profesional.
“Tapi Ndra, katanya pencitraan itu fake?”. Nah, ini yang perlu saya luruskan. Harus dibedakan mana personal branding dan mana berpura-pura. Tulisan ini menekankan tentang bagaimana kita membawa keseharian kita dan profesionalisme kita tidak hanya di sekat-sekat ruang kerja, namun juga di media sosial. Misal, untuk kalian yang hobi memasak, silakan upload foto masakan kalian secara reguler untuk menunjukan kalau kalian jago masak. Untuk yang hobi menggambar,silakan unggah karya kalian untuk memperkuat citra kalian sebagai seorang penggambar.
Namun, personal branding tidak bisa–ataupun sulit–untuk mencitrakan apa yang sebenarnya tidak kita lakukan. Misal, saya tidak suka bermain bola, namun saya selalu berfoto dan mengunggah postingan berbau bola. Hal tersebut akan sangat sulit untuk diterima, karena tidak bersifat genuine dan tidak relevan di kehidupan kita yang sebenarnya. Untuk itu, mari kita gunakan keahlian dan passion kita sebagai salah satu indikator “added values” yang kita bubuhkan dalam proses membangun personal branding kita.