Beberapa waktu terakhir, Kalimantan Barat dikepung oleh kepulan asap yang tebal nan pekat. Mudah ditebak, terbakarnya hutan dan lahan menjadi penyebab utama musibah tahunan di Kalimantan dan Sumatera ini. Hal ini menyulut berbagai aksi protes oleh berbagai lapisan masyarakat, baik itu aktivis lingkungan hidup, mahasiswa hingga masyarakat awam.
Dari berbagai narasi yang muncul ke permukaan, kesehatan menjadi narasi yang kerap kali didengungkan oleh masyarakat. Hal ini dapat kita pahami jika kita merujuk data Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes bahwa sekurang-kurangnya 100 ribu orang di Sumatera dan Kalimantan terinfeksi saluran pernafasan (ISPA) akibat kabut asap.
Dengan pertimbangan tersebut, melalui surat edaran nomor 421/2809/Dikbud yang ditandatangani oleh Gubernur Kalbar, sekolah SMA/SMK/SLB diliburkan mulai tanggal 12 hingga 14 September 2019. Syahdan, instruksi ini diperluas meliputi SD-SMA hingga tanggal 21 September 2019. Dengan asap yang masih pekat, besar kemungkinan libur ini akan diperpanjang hingga beberapa waktu ke depan.
Pendidikan dan Kebijakan Publik
Pendidikan memang tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan-kebijakan yang meyangkut orang ramai. Wirt & Kirst (1989) dalam bukunya Schools in Conflict menulis bahwa perubahan kebijakan seringkali dihasilkan oleh perubahan demografi, ekonomi, sosial maupun politik.
Dalam kasus ini, kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan memaksa para pengambil kebijakan—dalam hal ini Gubernur dan Dinas Pendidikan– untuk menekan jumlah korban ISPA dengan cara meliburkan para siswa-siswi sekolah. Dengan demikian, mereka hanya beraktifitas di dalam rumah saja.
Pertanyaanya, apakah meliburkan siswa-siswi adalah tindakan yang tepat? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin mengulas pendekatan Herbert Simon, salah satu peraih Nobel, yang ia beri nama Bounded Rationalityatau Rasionalitas Terbatas dalam proses pengambilan keputusan.
Pendekatan ini memaksa manusia untuk mengambil keputusan yang “satisficing” (memuaskan) dari daripada keputusan yang rasional dan logis. Hal ini dikarenakan manusia memiliki tiga keterbatasan dalam pengambilan keputusan, yaitu keterbatasan informasi, keterbatasan kognisi dan keterbatasan waktu.
Pada keterbatasan yang pertama, manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan informasi dalam pengambilan keputusannya. Dalam kasus asap di Kalbar, kurangnya informasi dapat berupa terbatasnya informasi mengenai waktu turunnya hujan atau jangka waktu yang digunakan untuk dapat menurunkan ketebalan asap.
Pada keterbatasan kedua, manusia memiliki keterbatasan dalam hal kognisi, dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan. Misalnya, karena belum adanya teknologi yang digunakan untuk melakukan rekayasa asap secara masif, maka cara yang paling mudah dilakukan untuk menghadapi asap adalah dengan menghindarinya; berdiam di dalam rumah.
Terakhir, keterbatasan waktu. Dalam hal ini, asap adalah musibah yang tidak dapat diprediksi kemunculannya. Demikian pula dengan waktu penanganannya, memerlukan waktu yang tidak sebentar dengan penanganan yang bersifat segera. Oleh karena itu, penanggulangan preventif secara cepat seperti meliburkan sekolah adalah hal yang rasional untuk dilakukan.
Perlu Langkah Strategis
Walaupun meliburkan siswa-siswi dari sekolah merupakan salah satu langkah yang relatif benar untuk dilakukan, namun tidak berarti bahwa langkah tersebut adalah cara yang terbaik.
Pertama, dengan meliburkan siswa-siswi di sekolah, akan membuat jadwal penyampaian kurikulum sedikit banyak terganggu. Oleh karena itu, para guru memiliki beban yang lebih berat untuk dapat “menebus” materi ajar yang tertinggal ketika proses libur tersebut berlangsung. Dengan waktu bejalar yang sudah terjadwal setiap semesternya, melakukan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah.
Cara diatas sebenarnya dapat di atasi jika Pendidikan kita hari ini mampu untuk menghadirkan pembelajarane-learning,atau pembelajaran berbasis online. Dengan demikian, proses bejalar setidaknya masih dapat dilaksanakan walau tidak terdapat proses tatap muka di dalam kelas.
Kedua, dengan lemahnya penanganan dan pengendalian kebakaran hutan, mungkin saja kabut asap akibat terbakarnya hutan dan lahan menjadi musibah tahunan di Kalimantan. Jika hal itu terjadi, maka pemerintah harus berfikir strategis untuk dapat tetap menyelenggarakan Pendidikan, bahkan ketika kabut berlangsung.
Hal ini menjadi penting karena pendidikan adalah hak dari setiap warga negara. Dengan meliburkan proses belajar mengajar di dalam kelas, terlihat seolah-olah dapat membantu pemerintah untuk dapat mencegah warganya dari infeksi pernafasan. Namun, pada saat yang bersamaan, masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses pendidikan secara formal.
Dari fenomena asap ini, sebenarnya kita dapat belajar bahwa dalam setiap peristiwa, tidak ada yang bersifat tunggal. Satu aspek dan aspek lainnya saling berkelindan, saling memengaruhi satu sama lainnya. Dalam hal ini, kabut asap dan dunia pendidikan.
Memang, dalam musibah kabut asap, pendidikan tidak memiliki dampak langsung layaknya dampak kesehatan. Namun, jika hal ini terus berulang setiap tahunnya, tidak menutup kemungkinan, Kalimantan dan Sumatera serta daerah terdampak asap lainnya akan semakin jauh tertinggal dari provinsi lain di Indonesia yang bebas dari musibah kabut asap karena lamanya waktu yang digunakan untuk libur sekolah.
Sebaliknya, dengan berfokus pada pencegahan, pemerintah daerah maupun pusat tidak hanya berperan untuk merawat hutan serta lingkungan hidup, namun lebih dari itu, memastikan bahwa hak-hak yang melekat dalam masyarakat tidak terabaikan; salah satunya adalah pendidikan.