Indra Dwi Prasetyo

Toko Barang Bekas itu bernama Savers

Apa yang ada di dalam fikiran kita semua ketika terlintas kata “barang bekas”? Barangkali, sebagian dari kita mendengarnya dengan konotasi positif dimana barang tersebut dapat kita daur ulang atau digunakan untuk keperluan lainnya, atau pula negatif yang sarat akan barang lusuh dan tidak layak pakai. Dalam berpakaian, misalnya, sudah bukan barang asing lagi dimana masyarakat memperjualbelikan baju “second” atau baju bekas. Fenomena ini cukup eksis di beberapa tempat di Indonesia: di Makasar disebut Cakar, di Jawa Tengah dikenal dengan Awul-Awul dan di Kalimantan barat—tempat dimana saya tinggal— masyarakat menamainya Lelong. Biasanya, pakaian bekas ini didapat dari berbagai macam negara, seperti Malaysia, China bahkan Korea Selatan. Dengan harganya yang murah, tak jarang saya sendiri menjadi penikmat barang ini. Kenapa tidak, kualitas yang ditawarkan terkadang memang lebih baik (walaupun perlu upaya ketat untuk selektif  memilhnya :p) dan dengan varian jenis yang beraneka.  Namun apakah perjualan barang bekas hanya ada di negara berkembang? Ternyata tidak juga, di Australia sendiri penjualan barang bekas sendiri sudah jamak terjadi; satu diantaranya adalah Savers.

Deretan perabotan rumah tangga
Deretan perabotan rumah tangga

Sekitar setengah jam dari kos-kosan saya di daerah Clayton, Melbourne, toko Savers berdiri megah dengan segala spanduk dan gedung tingginya ala mall di Indonesia. Ya, kalian tidak sedang salah membaca, Savers adalah toko barang bekas di Australia dengan desain yang modern. Di dalamnya, terdapat deretan barang bekas dari mulai dari perabot rumah tangga, buku bacaan, mainan anak-anak dan tidak ketinggalan pula pakaian bekas. Semua dijual dengan harga yang jauh dibawah harga aslinya. Disana, kita bisa dengan bebas menemukan barang-barang bermerek dunia dengan harga yang tak lebih dari 50 ribu untuk setiap buku bacaan, 30-100 ribu untuk kaos atau sekitar 200 ribuan untuk celana jeans dengan kualitas super. Merek yang ditawarkan tidak main-main, sebut saja Adidas, H&M, Nike, Quicksilver, Levis dsb. Harga diatas bisa dikatakan relatif murah bagi mata uang Australian Dollar dimana harga sepiring nasi goreng berkisar antara 100-150 ribu rupiah.

Rak buku bekas
Rak buku bekas

 

Dengan harga yang terjangkau tersebut, pengunjung Savers tidak dapat dikatakan sepi. Pembelinya bisa berasal dari penduduk asli Australia ataupun pendatang seperti saya atau negara tetangga lainnya. Pertanyaannya, apakah mereka malu serta risih membeli dan memakainya karena stigma “barang bekas”? Setau saya tidak. Pada prinsipnya, ketika saya berbicara dengan teman-teman Australia disini, pandangan mereka terhadap barang yang sudah tidak dipakai itu ada 2: dibuang atau diberikan kepada orang lain. Pada prinsip pertama, barang yang sudah tidak lagi berguna (baik yang masih berfungsi ataupun tidak) akan dibuang oleh si empunya. Biasanya diletakkan saja oleh pemilik rumah di pinggir jalan untuk kemudian diambil oleh siapapun atau diangkut oleh petugas kebersihan. Maka, tak heran jika ditemukan barang-barang elektronik yang masih bagus atau perabot rumah tangga lainnya di pinggir jalanan australia, itu artinya memang tidak diinginkan lagi oleh pemiliknya dan dapat kita ambil semau kita. Pada kaidah kedua, barang yang tidak digunakan dapat dihibahkan atau dijual kepada pihak lain. Disinilah Savers berfungsi sebagai penerima barang hibah dari masyarakat untuk kemudian dibeli. Barang tesebut disortir kembali oleh perusahaan untuk kemudian dicuci dan diberi tag-harga. Bagaimana dengan barang yang tak terjual? Barang yang tak laku akan di daur ulang kembali oleh perusahaan untuk kemudian dihibahkan ke negara-negara berkembang lainnya. Menarik bukan?

Pakaian bekas
Pakaian bekas

Savers dan sederet toko barang bekas lainnya sebenarnya sedang berbisnis dengan konsep “sustainability development” dimana pada satu titik mereka memperoleh profit dari barang yang terjual, namun di waktu yang sama pula mereka hadir untuk memberdayakan barang bekas dengan lebih optimal dan membuka lapangan pekerjaan bagi karwayan-karyawan mereka. Konsep ini diperindah lagi dengan desain interior toko yang nyaman khas pelayanan yang ramah (*dan cantik). Pertanyaannya sekarang, kalau ada barang yang murah dengan kualitas bagus, kenapa kita pilih harga mahal dengan sejuta gengsi, toh? (*)

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top