Indra Dwi Prasetyo

Sibuk Mencari, Kenapa Tidak Menjadi?

Aku sepertinya merindukan sesosok Muhammad Hatta. Diam, tenang, dan sangat sosial. Pribadinya yang anti-korupsi sudah tak perlu lagi aku jelaskan disini. Menurutnya, “Daulat tuanku” (idiom yang melambangkan kolonialisme dan feodalisme) dalam kehidupan Indonesia lama harus diganti dengan “daulat rakyat” (idiom yang melambangkan kehidupan demokrasi).

Tetapi kedaulatan rakyat yang dicita-citakan Hatta tidak berdasarkan individualisme, melainkan rasa kebersamaan. Lantang ia bicara demokrasi, baginya demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tapi, setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsyafan.

Aku juga menantikan ‘Ratu Adil’ semacam Haji Oemar Said Tjokromaninoto. Baginya, “Kita diberi makan bukan hanya karena kita dibutuhkan susunya.”, sungguh sikap patriotik yang bahkan pengaruhnya begitu ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda. De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota” adalah julukan pemerintah kolonial Belanda untuknya.

Rasa-rasanya Kemerdekaan Indonesia ini kok ada yang kurang. Pekikan semangat “Indonesia merdeka sekarang!” yang pernah  diteriakkan Mohammad Yamin pada Kongres II Partai Indonesia (Partindo), 23 April 1933 kok samar tak terdengar.

Bagaimana tidak, makam pahlawan sepertinya bukan lagi situs yang penting dibanding pusat perbelanjaan. Lagu-lagu nasional tak ubahnya aransemen usang karya masa lalu yang tertinggal zaman dibanding lagu K-Pop masa kini.

Halo-halo BandungKopral Jono, Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan Sepasang Mata Bola  racikan Ismail Marzuki kok tampak tak gaul lagi, ya?

Kulihat gelagat tokoh-tokoh nasional saat ini, kerjaannya kok kelahi melulu! Menghujat lewat media sosial, hingga perkelahian sewaktu sidang serasa wajar. Aku menantikan tokoh semacam mbah Hasyim Asy’ari, sosok ulama yang secara tegas menentang penjajah.

Prinsipnya jelas, yaitu ajaran agama Islam. Sikapnya yang moderat menjadi inspirasi bagi tumbuhnya kultur inklusif yang hingga kini masih tampak di kalangan Nahdliyin. Selain beliau, ketokohan Ahmad dahlan kenapa belum ada yang menggantikan ya?

Tokoh yang mampu menerjemahkan keagamaan secara kontekstual dalam menjawab permasalahan realitas kehidupan. Muhammadiyah, organisasi bentukannya pula yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai pegangan dan kepercayaan yang hidup dan aktif di masyarakat, termasuk memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah dan mengajarkan pengetahuan umum di pesantren-pesantren.

Belum cukup disitu, kehidupan bermasyarakat saat ini juga mengganggu fikiranku. Permusuhan dan kebencian atas nama etnis, golongan dan agama sedang marak terjadi. Ucapan berbau sarkasme untuk mereka yang “berbeda” berseliweran di beranda Facebook dan lini masaku.

Mengapa bisa begini? Bukankah kita hidup dibawah naungan satu negara? Kalaulah kita beda pandangan, politik, agama ataupun suku, bukankah kita masih menghirup udara yang sama. Tak berlebihan kan kalau aku menyebutnya seudara, beda tipis dengan kata saudara.

Ditengah gemuruh benci seperti ini, aku terbayang sosok Abdurrahman Wahid ataupun Nurcholis Madjid. Semangatnya dalam mengkampanyekan inklusifisme, pluralisme dan toleransi patut diacungi jempol. Energinya yang tak pernah habis untuk menjaga kebersamaan dalam kehidupan yang plural. Jika Kebinekaan ini mampu kita rawat dibawah fondasi Keikaan, bukankah hidup akan jauh lebih damai?

Dalam duduk diamku, aku sejenak berfikir tentang masyarakat global. Indah sekali ya punya tokoh-tokoh yang menginternasional yang mampu mengharumkan nama Indonesia dimata dunia. Kusebut saja Buya Hamka.

“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.” Begitulah kata mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Setali dengan Buya, Bacharudin Jusuf Habibie adalah ·manusia dengan segudang sebutan. Harian Sinar Harapan menjulukinya “Lambang abad ke-21”.

Majalah AS, Christian Science Monitor menyebutnya “Lambang Progresivitas Islam”. julukan Mr. Crack  diberikan kalangan scientist karena Habibie adalah orang pertama di dunia yang menunjukkan cara bagaimana menghitung urutan keretakan pesawat hingga ke tingkat atom-atomnya (crack propagation on random).

Belum lagi bicara Adam Malik. sosok dimpolat yang reputasinya mendunia. Dia adalah satu di antara sedikit orang yang mampu menempatkan Indonesia ke dalam posisi terhormat dalam pentas politik dan diplomasi internasional. Penyerahan Irian Barat kepada Indonesia antara lain merupakan hasil perundingan rahasianya dengan delegasi Belanda di Virginia, Amerika Serikat, 1962.

Berbicara tentang diplomasi, sosok Agus Salim tidak dapat kutinggalkan. Kepiawaiannya berdiplomasi ini ia lakukan saat ia menjadi menteri luar negeri di masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan kabinet Hatta. Walau badannya kecil, di kalangan diplomatik ia dikenal dengan julukan The Grand Old Man; sebuah bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi internasional

Pada akhirnya, sebagai mahasiswa Pendidikan, aku tertunduk malu. Bukan malu mengapa, pendidikan di negara ini belum bisa dianggap optimal. Biarkan  kuspesifikasi lagi ke Kalimantan Barat, banyak sarjana dan Profesor pendidikan disini tapi pendidikan Kalimantan Barat masih menyedihkan. Belum lagi jika membahas pendidikan di perbatasan.

Sungguh, aku rindu sosok R.A Kartini. Satu kalimatnya yang saya sukai adalah berikut ini “Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang: jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendal, licin … belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati bahagia. Sebab jalan itu sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra”.

Satu tarikan nafas, Dewi Sartika juga merupakan tokoh yang membanggakan.  Sekolah Isteri yang kemudian berganti nama menjadi  Sekolah Kaoetamaan Isteri adalah pandangannya yang visioner terhadap pendidikan. Ia adalah simbol kebangkitan kesadaran perempuan atas harga dirinya. Ia berjuang agar kaumnya sejajar dengan lawan jenisnya.

Dengan segala keterbatasan dan pagar-pagar bersepuh emas yang bernama etika, ia mencoba untuk mengembangkan diri dan keyakinannya. Kapan lagi aku punya maestro penulis seperti Pramoediya Ananta Toer yang Novel-novel terkenalnya seperti Bumi ManusiaAnak Semua BangsaArus Balik, dan Arok Dedes, menjadi bacaan wajib para aktivis?

Penulis dengan kompleksitasnya seperti Chairil Anwar,  dimana Antara Kerawang dan Bekasi, merupakan watak nasionalisnya. Puisi Doa untuk Isa adalah persembahan untuk imannya, sedangkan Aku mencerminkan sikap tidak pedulinya dan kebebasannya.

Semakin kusesali semakin tiada arti. Aku merengek toh tiada memberi jalan keluar. “Ratu Adil” yang kutunggu tak bisa lagi diharap untuk muncul, ia berada disini; di dalam diri kita masing-masing. Semakin kita bercerai berai-berai, membenci dan mencaci saudara-saudara kita sebangsa setanah air, semakin hilang keadilan di dalam diri kita sendiri.

Merindukan munculnya kembali sosok tokoh untuk mengubah bangsa ini layaknya tokoh diatas memang tidak salah, namun lebih baik kita mengambil bagian didalam prosesnya. Bukankah sebelum mereka menjadi “apa-apa”, mereka bukanlah “siapa-siapa”?

Mungkin kita terlalu kerdil menafsir dan menimbang diri kita sendiri. Kita yang bukanlah “apa-apa” saat ini, mungkin akan menjadi “siapa-siapa” nantinya. Terakhir, ijinkan saya mengutip kata-kata Pram di tulisan ini, “Orang yang moralnya kuat karena apa? Karena pengalaman. Ia belajar dari pengalaman”. Semoga pengalaman-pengalaman pahlawan dalam menjaga bangsa ini dapat kita jadikan pelajaran untuk memperkuat moral kita dalam membangun kembali bersama bangsa ini.

Mulai saat ini, berhentilah mencari-cari, mulailah untuk menjadi.

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top