Belom selesai kegaduhan demi kegaduhan di Republik ini, kita kemudian harus disodorkan pelbagai pemberitaan mengenai kasus mega skandal Ketua DPR-RI akan korupsi E-KTP. Sebenarnya, masyarakat kita sudah tidak awam lagi perihal korupsi—silahkan saja cek pejabat negara yang kemudian terlibat dalam persekongkolan jahat ini, dimulai dari level akar rumput hingga eksekutif, saya rasa semua ada. Namun, permasalahnnya tidak sesederhana itu. Dalam kasus ini, tersangka merupakan ketua lembaga legislatif nasional; mewakili 260 juta rakyat Indonesia! Lantas, dengan siapa kemudian rakyat Indonesia menggantungkan harapannya jika tampuk kepemimpinan tertinggi republik ini mengalami krisis moral, dan parahnya lagi, model kepemimpinan apa yang harus ditiru oleh anak muda dimasa mendatang?
Benar bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk diikuti oleh orang yang lebih muda, istilahnya, “monkey see, monkey do”. Apa-apa saja yang dilakukan orang tua, misalnya, akan sedikit banyak diikuti oleh anak-anak mereka. Hal ini seperti proses pendidikan di dalam rumah, interaksi sosial orang tua, dan sosio-kultural yang kemudian membentuk kepribadian sang anak.
Dari sekian banyak pola interaksi orang tua terhadap anaknya, Diana Baumrind (1927) mengklasifikasikan beberapa pola asuh orang tua terhadap anaknya, dua diantaranya adalah otoriter dan permisif. Sikap otoriter misalnya ditunjukkan orang tua dengan mengendalikan segala sikap dan fikiran sang anak, bahkan pada titik ekstrim, cenderung menghindari perdebatan-persebatan verbal karena ketidakinginan untuk silang pendapat. Pola kedua, permisif, terjadi dimana orang tua acuh terhadap perkembangan sang anak. Dalam hal ini, urusan orang tua diatas segala-galanya dan menisbikan tumbuh kembang sang anak.
Dalam bernegara, bisa jadi kedua pola asuh tersebut sudah kita rasakan semangatnya. Ketika Orde Baru bergulir, masyarakat dikekang semangat bergerak dan berfikirnya oleh pemerintah dan saat ini, bisa jadi masyarakat mulai kehilangan sosok orang tua itu sendiri dalam refleksi mereka terhadap pemerintah. Seolah pucuk pimpinan negeri ini sedang sibuk berdansa di pesta malamnya, rakyat hanya dibiarkan melihat mereka berakrobat dari jauh. Hal ini tidak saja membiarkan negara ini menjadi panggung sandiwara para punggawa politik, namun yang lebih parah, pemuda-pemudanya kehilangan track berfikir dan bergerak yang bisa dicontoh dari orang tua mereka di pemerintahan.
Jika sudah sampai pada fase ini, mungkin ada baiknya para pemuda untuk bisa bertindak dan belajar secara mandiri untuk tidak selalu bergantung kepada pola-pola kepemimpinan petinggi negerinya. Apa yang bisa mereka lakukan adalah menjadi yang terbaik—dalam tafsiran masing-masing individu—untuk kemudian dapat bersaing secara sehat dikemudian hari, atau dengan kata lain “primus inter pares” (first among equals) atau menjadi yang terbaik diantara lainnya. Semangat menjadi yang terbaik ini setidaknya akan membimbing anak muda untuk dapat menemukan alurnya sendiri dalam pencarian jati diri mereka, atau kepemimpinan model apa yang mereka butuhkan. Lebih jauh, frasa tersebut mendorong mereka untuk tidak hanya bersandar pada suara keramaian dan mayoritas, namun menciptakan jalan-jalan baru yang mungkin belom pernah terfikirkan sebelumnya oleh yang lainnya. Didalam sejarahnya, istilah primus inter pares merupakan sebutan yang diberikan kepada orang-orang Romawi yang memiliki kecakapan khusus dalam suatu hal atau senior diantara lainnya. Namun pada era ini, agaknya kita harus merekonstruksi semangat berfikir ala primus inter pares bahwa menjadi yang terbaik diantara lainnya tidaklah melulu melalui jalur pemberian yang sarat akan hirarkis, namun merupakan tangga pencapaian yang dapat diraih setiap manusia melalui proses belajar dan kebermanfaatan didalam masyarakat.
“Biarlah kegaduhan berbunyi nyaring, pembelajar tak pernah anggapnya bising”
1 thought on “Primus Inter Pares”
Tulisannya singkat tapi jelas dan sarat akan makna. Lebih ringan untuk dipahami. Jadi lebih paham apa itu primus interpares saat ini.