Tidak bisa dipungkiri, bahwa gejolak untuk menikah diusia muda sudah sangat bergemuruh saat ini di media sosial kita. Mulai dari diskriminasi terhadap kaum jomblo (*ini serius), hingga menggunakan dalil agama sebagai basis legitimasi. Tulisan ini tidak untuk membahas benar tidaknya argumentsai tersebut, namun untuk mengulas fenomena dibalik kejadian diatas, pergejolakan kaum muda untuk memilih diantara pernikahan dan pendidikan, mana yang harus didahulukan?
Banyak teman-teman saya yang memilih untuk menikah pada usia muda, katakanlah paska lulus SMA. Walaupun tidak banyak, ada juga yang menikah ketika sedang melakukan studi sarjana. Kebanyakan lainnya memilih menikah setelah menyelesaikan studinya di tingkat sarjana (S1). Sisanya–seperti saya–mungkin menikah setelah menyelesaikan studi paskasarjana, atau bisa jadi setelah jenjang doktoral. atau bisa jadi setelah itu, entahlah.
Disukai atau tidak, fenomena untuk menikah diusia yang dibilang muda tersebut memang merupakan sebuah tren masa kini. Namun, kita juga tidak dapat menutup mata dari mereka yang memilih untuk menikah diusia yang lebih dewasa. Jika kita membandingkan M. Hatta yang baru menikah diusia 43 tahun dengan Soekarno yang memutuskan untuk menikah diusia 20 tahun; keduanya memiliki basis argumen masing-masing. Tak elok sekiranya kita menilai seseorang dari usia ia menikah, lebih baik untuk membicarakan kebaikan dan “artefak” kehidupannya saja, kan?
Namun, fenomena pernikahan saat ini acapkali dibenturkan dengan salah satu variabel: pendidikan. Dua variabel ini–entah bagaimana caranya–selalu memiliki kausalitas satu sama lainnya di era sekarang. Misal, memilih tidak menikah sebelum menyelesaikan studi sarjana 1, atau menikah ketika sedang menyelesaikan studi master, dst. Lantas, apakah dua variabel ini memang saling berkaitan, ataukah ini dibangun atas asumsi-asumsi belaka? Bahwa mereka yang belum purna pendidikan sarjana1-nya dianggap belum matang untuk sebuah pernikahan, atau mereka yang telah menyelesaikan studi doktor dianggap sudah mumpuni akan ilmu pernikahan. Benarkah harus demikian?
Saya pribadi menganggap dua variabel ini, sungguhpun memiliki keterkaitan, tidak dapat dijadikan alasan yang bersifat kausalitas atau saling memengaruhi dalam memutuskan sebuah pernikahan. Bagi saya, pendidikan adalah kebutuhan dasar setiap individu. Setiap warga manusia berhak untuk mengenyam pendidikan hingga setinggi apapun yang ia mau. Kalau ia hanya menginginkan pendidikan hingga jenjang SMP, silahkan. Memilih untuk mandiri paska SMA, juga silahkan. Begitupula mereka yang memilih untuk meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana, tidak ada salahnya. Lalu, apakah jenjang pendidikan ini sendiri merupakan syarat sebuah pernikahan? Saya pribadi menganggapnya tidak.
Orang berhak menikah di usia kapanpun ia mau–dalam hal ini pemerintah telah menetapkan usia minimal pernikahan. Jika ada mereka yang ingin menikah paska SMA, maka itu merupakan hak mereka dan tidak dapat kita ganggu gugat. Begitupula dengan mereka yang memutuskan untuk menikah setelah menyelesaikan studi doktoral, itu pula merupakan pilihan mereka. Bahwa variabel pendidikan dan pernikahan memang bukanlah sebuah hal yang harus dipertentangkan. Jika ada yang mempertentangkan mereka yang ingin menikah ketika sedang menjalankan pendidikan sarjana 1 dengan alasan-alasan bahwa mereka masih di bangku kuliah, lalu apa bedanya dengan mereka yang menikah setelah menyelesaikan studi master lalu setelah itu menyambung untuk kembali melanjutkan studi doktoral, misalnya. Bukankah mereka sama-sama berstatus mahasiswa? Namun, kenapa kita memperlakukannya berbeda?
Hemat saya, alasan implisit kenapa dua variabel ini terus dikait-kaitkan salah satunya karena status pekerjaan. Bahwa mereka yang masih mengenyam pendidikan dianggap belum memiliki pekerjaan tetap. Walaupun ini juga dapat diperdebatkan lebih lanjut, namun agaknya hal ini yang membuat banyak orang mempertentangkan antara pernikahan dan pendidikan. Bahwa mereka yang masih mengenyam pendidikan dianggap belom mampu menafkahi kebutuhan materil rumah tangga dengan alasan pekerjaan sebagai esensi utama.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang melakukan studi dari jenjang sarjana hingga doktoral tanpa jeda? Dengan asumsi kasar, tindakan itu setidaknya memakan waktu 10 tahun. Di beberapa tempat, saya pernah bertemu dengan Associate Proffesor yang masih sangat muda, berumur 30an dan masih terus mengerjakan studi post-doctoral mereka, yang jika dikalkulasikan dapat menempuh waktu total belasan tahun dari jenjang sarjana. Bagaimana kita menyikapinya? Apa kita masih menganggapnya belum dewasa karena masih belum menyelesaikan studinya?
Saya memandang, perlu ada dikotomi antara pendidikan sebagai sebuah kebutuhan manusia dalam mengenyam pendidikan dan pernikahan sebagai sebuah entitas manusia sebagai makhluk biologis dan religius. Kedua hal ini tidak dapat dipertentangkan, pula tidak dapat digabungkan. Mengapa? Karena esensi pendidikan bukanlah untuk mencari penghasilan dan pekerjaan. Bagi mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan, maka bekerjalah. Pendidikan adalah bagi mereka yang menginginkan kepuasan dahaga ilmu pengetahuan. Namun, bagi mereka yang memilih untuk kuliah sebagai sebuah salah satu cara untuk memeroleh penghasilan, sah-sah saja untuk kemudian menikah setelahnya. Begitupula dengan mereka yang menganggap pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda, maka keputuannya untuk menikah ketika studi juga tidak dapat dipersoalkan selama ia mampu untuk memenuhi nafkah rumah tangganya.
Adalah benar adanya bahwa tuntutan zaman memaksa kita untuk saling mengaitkan antara satu variabel dengan variabel lainnya dalam hidup. Antara politik dan hukum, antara hukum dan agama, antara agama dan sosial bahkan anrara sosial dan pendidikan. Namun, kita juga harus tegas untuk memisahkan suatu persoalan yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan yang signifikan. Salah satunya adalah pendidikan formal dan pernikahan.
Walaupun saya pribadi berpandangan untuk memikirkan pernikahan setelah atau ketika studi master saya, itu merupakan sebuah pandangan personal dan tidak menggunakan logika di atas bahwa pendidikan dan pernikahan harus saling kalah mengalahkan. Kalau X, maka Y; kalau Y maka X. Kalau mau menikah, maka studinya harus selesai, atau kalau mau studi, maka pernikahannya harus ditunda, dsb. Sudah barang tentu, pendidikan yang saya maksud di tulisan ini adalah pendidikan formal seperti SD, SMP hingga pendidikan tinggi. Bukanlah pendidikan secara umum, dimana seseorang tentulah harus menyelesaikan “pendidikan” mereka sebelum menikah. Misal, pengetahuan tentang keluarga, parenting, financial planning, moralitas pernikahan, dsb.
Untuk menutup tulisan ini, saya mengajak anak-anak muda semuanya untuk bersifat adil kepada diri kita sendiri dalam menyikapi sesuatu tanpa harus terbawa emosi atas tuntutan zaman. Bahwa bisa jadi pernikahan dan pendidikan formal memang bukanlah suatu hal yang layak dipertentangkan. Andaikata kita menganggap studi yang sedang kita tempuh sebagai salah satu langkah dalam mempersiapkan diri sebelum pernikahan, maka tuntaskanlah pendidikan tersebut hingga siap. Namun, jika kita merasa sudah siap walaupun sedang dalam proses mengenyam pendidikan, maka silahkan juga, nothing to lose. Mempersoalkan kedua hal ini ini sama saja seperti mempersoalkan bagaimana cara minum es cendol: airnya dulu atau cendolnya dulu. Menurut kalian gimana? Kalau saya bayar dulu.