Beberapa waktu yang lalu, saya berdiskusi bersama dengan teman satu organisasi sewaktu kuliah dulu. Pembicaraan yang panjang malam itu pada akhirnya mengerucut pada satu sub-tema besar: masih diperlukankah organisasi kampus bagi mahasiswa?
Sebelum membahas ini lebih jauh, mari kita sepakati bahwa organisasi kampus yang dimaksud di sini adalah organisasi yang terikat dalam satu ikatan ideologis, baik di internal kampus seperti BEM atau Himpunan, maupun organisasi eksternal kampus layaknya HMI, PMII, GMKI, KAMMI, dan lain sebagainya.
Pertanyaan ini menjadi menarik di tengah dunia kampus yang makin luwes dan global, di mana interaksi yang terjalin antar-mahasiswa tidak hanya terjadi dalam lingkungan kampus mereka belajar itu sendiri, namun justru lebih luas, bahkan secara internasional.
Konsekuensi dari pergaulan mahasiswa yang makin luas tersebut adalah pergeseran spektrum pikir dan gerakan mahasiswa itu sendiri. Misalnya dalam skala kecil, dari gerakan yang bersifat eksklusif-ideologis, bertransformasi menjadi gerakan inklusif-kolaboratif, seperti gerakan berbasis teknologi, layaknya start-up.
Melihat interaksi mahasiswa yang makin dinamis tersebut, sebenarnya layak bagi kita untuk bertanya, seberapa relevankah organisasi mahasiswa bagi mahasiswa itu sendiri hari ini? Saya tertarik untuk membahasnya menjadi tiga aspek: ikatan interaksi, common issues, dan kebutuhan anak muda hari ini.
Seberapa Relevan?
Seperti yang sempat saya singgung di atas, terjadi pergeseran ikatan interaksi antara mahasiswa yang dulu aktif di gerakan dengan mahasiswa hari ini.
Misalnya, jika dulu keterikatan agama menjadi salah satu motor untuk bergerak, hari ini justru berbeda. Dengan adanya teknologi, mahasiswa berinteraksi dan bergaul dengan beraneka ragam rupa mahasiswa, yang plural dalam latar belakang, baik di dalam Indonesia maupun di luar negeri.
Apa akibatnya? Gerakan yang didasarkan pada ikatan dan interaksi seperti agama menjadi kurang relevan. Justru, terlihat kebalikannya. Agama sebagai basis menjadi lapis kedua atau bahkan ketiga dalam ikatan dan interaksi mahasiswa hari-hari ini.
Hal ini bisa jadi disebabkan juga oleh common issue yang berbeda dengan meraka yang lahir dari gerakan, seperti mahasiswa angkatan 90’an. Misalnya, gerakan mahasiswa 90’an memiliki setidaknya beberapa isu bersama, seperti reformasi dan penggulingan Suharto.
Namun, hari ini, hal tersebut berbeda. Jika wacana yang didengungkan 20-an tahun silam lebih bernuansa nasional, hari ini justru memiliki spektrum yang lebih luas dan global. Misalnya, wacana-wacana yang berkembang di mahasiswa hari ini bersifat green, seperti daur ulang sampah, penggunaan botol tumblr, renewable energy, atau isu ramah lingkungan lainnya.
Selain isu-isu yang “hijau” tersebut, isu-isu global lainnya yang tidak kalah menyita perhatian mahasiswa hari ini, misalnya, isu tentang kesetaraan gender, pemanasan global, akses air bersih, atau pemerataan pendidikan. Menariknya, isu-isu tersebut justru jarang disentuh oleh organisasi intra ataupun ekstra yang sudah mapan selama ini.
Isu-isu yang dibawa oleh organsasi kampus yang sudah mapan selama ini masih berkisar tentang tata kelola negara yang baik, korupsi, atau isu-isu birokrasi lainnya. Memang, tidak ada yang salah dengan hal ini, namun isu-isu tersebut dianggap kurang menarik bagi teman-teman mahasiswa hari-hari ini. Hal ini berdampak pada menurunya minat mahasiswa untuk aktif dalam organisasi-organisasi kampus dewasa ini.
Uniknya, perbedaan wacana yang ada justru disikapi dengan produktif oleh sebagian mahasiswa hari ini. Kendati mereka tidak aktif secara gerakan di organisasi kampus yang telah mapan tersebut, justru banyak komunitas atau inisiatif-inisiatif lahir dari mahasiswa hari ini.
Hal itu dapat kita lihat dari maraknya inisiatif-inisiatif berbasis komunitas yang dibangun oleh mahasiswa untuk menampung wacana mereka yang barangkali tidak difasilitasi oleh organisasi kampus mapan yang ada selama ini. Baik itu yang bersifat lingkungan, pendidikan, kepemudaan, dan isu-isu lainnya.
Hal yang tidak kalah penting lainnya untuk kita bahas dalam wacana organisasi mahasiswa hari ini adalah kebutuhan mahasiswa itu sendiri. Dengan derasnya wacana teknologi 4.0 dan sejenisnya, tidak dapat disalahkan jika mahasiswa hari ini lebih aktif di isu-isu yang dapat membantunya untuk lebih siap dan mapan di masa mendatang. Salah satunya adalah penguasaan teknologi.
Itulah mengapa, dalam 5 tahun ke belakang, kita melihat menjamurnya anak-anak muda yang memilih untuk bergerak melalui jalur inovasi teknologi daripada menjadi seorang organisatoris dalam sebuah organiasasi kampus. Selain karena tuntutan zaman yang sudah berubah, bergerak dalam dunia inovasi teknologi dianggap lebih menjanjikan di masa mendatang di mana teknologi makin berperan penting bagi manusia.
Benang Merah
Secara pribadi, saya masih optimis jika organisasi kampus yang sudah mapan selama ini, baik di lingkungan internal maupun di eksternal kampus, akan tetap bertahan dalam beberapa kurun waktu mendatang. Namun, penting juga bagi teman-teman aktivis yang selama ini aktif di organisasi tersebut untuk berpikir lebih reflektif: apakah organisasi ini yang mahasiswa butuhkan hari ini?
Dari beberapa paparan di atas, ada baiknya bagi teman-teman untuk sedikit memodifikasi wacana ataupun cara bergerak selama ini. Misalnya, jika selama ini gerakan lebih dilandaskan pada isu-isu eksklusif seperti agama atau kesukuan, cobalah untuk membuka keran kolaborasi lintas sektor dan gerakan. Sehingga, ikatan interaksi yang terbangun oleh mahasiswa menjadi lebih fleksibel dan inklusif.
Kedua, tidak ada salahnya untuk mengarusutakaman isu-isu global ke dalam agenda-agenda organisasi. Dengan demikian, wacana yang diciptakan menjadi lebih bervariasi, dianggap lebih up to date dengan apa yang dunia hari ini bicarakan. Walau, tentu saja, tidak bisa melepaskan wacana utama yang selama ini telah diperjuangkan.
Serta, memberikan nilai tambah pada keilmuan dan keterampilan yang akan dibutuhkan mahasiswa di masa mendatang. Misalnya, pada penguasaan IT, literasi teknologi dan media dan beberapa isu-isu 21st century lain yang dibutuhkan mahasiswa hari ini di masa mendatang.
Pada akhirnya, dengan memperkuat interaksi kolaborasi yang inklusif, penguasaan wacana-wacana global serta keterampilan yang dibutuhkan untuk masa mendatang, saya pikir, organisasi, baik yang ada di dalam maupun di luar kampus, dapat bertransformasi menjadi organisasi yang lebih kuat dan adaptif.
Karena memiliki nilai dan ideologi yang sudah ajeg dan solid, namun juga mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang fleksibel serta terbuka.
Catatan: tulisan ini pernah diterbikan sebelumnya di www.qureta.com pada tanggal 23-02-2020 dengan judul yang sama https://www.qureta.com/next/post/masih-relevankah-organisasi-kampus-bagi-mahasiswa