Politik identitas adalah…apa yang dulunya kita sebut sebagai hak-hak sipil.
~ Samantha Bee, Full Frontal
Dalam perjalanan politik Indonesia belakangan, ada salah satu diskursus yang kerap sekali diperbincangkan dalam tajuk-tajuk diskusi: politik identitas. Bisa jadi, pertarungan politik DKI Jakarta beberapa tahun silam dianggap sebagai kemunculan kembali politik identitas ini di muka publik. Dalam berbagai argumentasi, politik identitas model ini dianggap bertanggung jawab terhadap mundurnya demokrasi yang seharusnya meniscayakan kebebasan memilih tanpa sekat-sekat identitas.
Di tengah gemuruh kekhawatiran terulangnya politik identitas di Pillpres mendatang, mungkin sejenak kita bisa merenung: benarkah politik identitas semacam ini berbahaya bagi demokrasi? Jika iya, seberapa jauh dampaknya?
Melihat Identitas
Sebelum berbicara lebih jauh perihal politik identitas, ada baiknya kita menyamakan spektrum tentang apa itu identitas. Memberi definisi pada identitas agaknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini disebabkan banyaknya variabel yang saling terkait dalam pembentukan identitas tersebut.
Namun setidaknya kita bisa memahami identitas melalui dua pendekatan, esensialisme dan non-esensialisme. Dalam perspektif esensialisme, identitas dimaknai sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Misalnya adalah konsep biologis antara anak dan ibu. Walaupun secara status pernikahan bisa berganti-ganti, namun ikatan biologis ibu dan anak tetap akan selalu sama.
Hal ini juga berlaku pada sistem kesukuan dan ras. Seseorang yang memiliki ras Asia tentu memiliki ciri-ciri tubuh yang berbeda dengan orang-orang dari ras Eropa atau Afrika. Inilah yang dimaksud dengan identitas dalam kacamata esensialisme.
Identitas yang dilihat menggunakan pendekatan non-esensialisme justru sebaliknya, di mana identitas dimaknai sebagai sesuatu yang fleksibel atau luwes. Dalam salah satu tulisannya, dosen saya pernah menulis bahwa identitas adalah sesuatu yang tidak tetap, namun terfragmentasi. Itulah mengapa, dalam pendekatan ini, identitas dapat dimaknai sebagai the process of becoming, karena keniscayaan identitas yang bisa selalu berubah.
Hal ini dapat diandaikan pada agama atau budaya. Seseorang yang beragama Islam bisa saja besok berubah menjadi Hindu, atau sebaliknya. Begitu pula budaya, seseorang yang lahir dan besar di tanah Jawa, namun kemudian berpindah ke Kalimantan, sedikit banyak mengalami adaptasi budaya dari budaya sebelumnya ke budaya yang baru.
Walaupun ada banyak ragam definisi mengenai identitas, setidaknya ada beberapa kata kunci yang dapat kita gunakan bahwa identitas berguna sebagai penentu “kami” dan “mereka”. Penanda antara “kami” dan “mereka” diperlukan manusia untuk membedakan dirinya dengan orang lain di sekitarnya.
Dalam hal ini, Jenkins dalam tulisannya Rethinking Ethnicity: Identity, Categorization and Power mengungkapkan bahwa identitas adalah sebuah proses kategorisasi sosial yang berpengaruh terhadap siapa kita dalam masyarakat sosial. Proses diferensiasi diri inilah yang pada akhirnya terjadi juga di dalam politik.
Politik Identitas atau Politik Kelas?
Dalam pembicaraan mengenai politik identitas, keterkaitan antara kekuasaan dan kelompok yang merasa tertindas tidak dapat dielakkan. Jika kita berkaca pada kasus Pilkada Jakarta kemarin, setidaknya ada dua spektrum yang terlihat di permukaan: antara pemerintahan yang dianggap kurang adil dan masyarakat yang merasa terzalimi. Reaksi yang kemudian timbul dari aksi demonstrasi yang cukup fenomenal di kemudian hari pada akhirnya mengonfirmasi kita tentang dua irisan tersebut.
Namun, sebenarnya ada yang lebih menarik untuk kita pikirkan, sebenarnya yang terjadi adalah politik identitas atau politik kelas? Saya menganggap bahwa fenomena ini cenderung sebagai politik kelas, bukan politik identitas. Setidaknya, ada dua catatan mengapa saya mengatakan bahwa ini adalah politik kelas.
Pertama, fenomena ini relatif terjadi beberapa tahun terakhir. Akan sangat sulit kita menemukan tuntutan-tuntutan kelompok Islam sebesar ini dalam periode 10 tahun ke belakang atau lebih.
Ini menandakan bahwa secara politik, tidak ada masalah yang signifikan antara kelompok Islam dengan pemerintah, baik itu pada tataran level terbawah hingga eksekutif seperti presiden. Maka, agak sulit untuk melihat ini sebagai politik identitas dengan realitas bahwa umat Islam secara identitas kolektif sudah berada di Indonesia bahkan sejak republik ini berdiri.
Kedua, dari narasi dan tuntutan yang disampaikan, sebenarnya keadilan adalah kata kuncinya. Ketidakadilan, baik dalam segi hukum, ekonomi, maupun sosial, bisa menjadi bom waktu yang dapat suatu saat meletus. Dennis Wrong dalam Reflections on a Politically Skeptical Era, misalnya, pernah menulis bahwa politik identitas tidak dapat dilepaskan salah satunya dengan ketidakadilan.
Maka, secara substansi, saya lebih melihat fenomena ini sebagai sebuah gelombang politik kelas yang mempertemukan antara satu kelompok yang memiliki kekuasaan, dan kelompok lain yang merasa tertindas. Bukan antara satu kelompok agama dengan kelompok lainnya.
Karena ini adalah perjuangan politik kelas, maka dapat dimaklumi jika spektrum gerakannya tidak hanya berpusat pada satu kelompok atau golongan identitas saja, namun juga dilakukan oleh golongan identitas lainnya, walau dalam kadar yang tidak sama besarnya.
Masa Depan Politik Identitas
Melihat narasi di atas, agaknya berlebihan jika politik identitas kemudian dilihat sebagai suatu ancaman ataupun kemunduran demokrasi. Pada satu titik, tanpa kita sadari, politik memang selalu bersinggungan dengan identitas. Seorang jurnalis gerakan, Kauffman, bahkan menyebut politik identitas sebagai hal dasar dari kerja-kerja politik.
Bukankah jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, bahkan riwayat pendidikan adalah sebuah identitas, baik secara esensialisme maupun non-esensialisme? Kalau memang politik identitas dianggap sebagai sebuah kemunduran, maka bukankah praktik-praktik meraup suara anak muda oleh partai politik juga dapat disebut politik identitas—dalam hal ini identitas umur?
Penting untuk dicatat, bahwa yang perlu menjadi catatan kita bersama adalah bagaimana menggunakan identitas dalam politik secara santun dan bijaksana. Dalam artian, sejauh mana artikulasi identitas dalam politik dimaknai sebagai sesuatu yang konstruktif, bukan sesuatu yang mengkhawatirkan alih-alih destruktif.
Terakhir, jangan sampai keriuhan ini mengalihkan kita pada salah satu isu pokok mengenai perjuangan politik kelas. Bahwa memang hari ini ada banyak kelompok masyarakat yang menuntut keadilan baik secara ekonomi, sosial, agama, maupun politik.
Karena bagaimanapun, upaya kontrol atas pemerintah dalam berjalannya roda pemerintahan adalah tanggung jawab semua identitas, tanpa terkecuali.
*artikel telah dimuat sebelumnya di Qureta dengan judul “Membela Politik Identitas”