Dalam tatanan budaya ketimuran, ada satu gestur tak tertulis yang sering kita jumpai di masyarakat–atau mungkin dalam diri kita sendiri– yang dikenal dengan istilah “Ewuh Pakewuh”, atau budaya “tidak enakan”. Secara bahasa, “Ewuh Pakewuh” berasal dari bahasa Sansekreta, dimana Ewuh adalah repot dan Pakewuh adalah perasan tidak enak. Iya, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana mengelola perasaan tidak enakan.
Memangnya, apa perlunya membahas perkara tersebut?
Saya memiliki sorang sahabat yang sangat tidak enakan. Mungkin, lebih mudah meminjam uang miliknya daripada ia harus berkata tidak pada seseorang. Hehe
Mungkin niatannya baik, yaitu agar menghormati, atau bahkan menghargai orang yang memerlukan bantuan kita. Namun, di era teknologi semacam ini, dimana komunikasi terjadi multi arah: langsung dan tidak langsung (virtual), seberapa mampu kita untuk terus berkata “iya” jika dimintai bantuan?
Menurut saya, tidak ada yang salah dari memiliki perasaan tidak enak. Justru, itu yang membedakan kultur kita dengan kultur orang lain, di Barat misalnya. Selama studi di Australia, saya menyaksikan bahwa orang Barat cenderung “to the point” dan apa adannya dalam bersikap tanpa tedeng aling-aling. Berbeda dengan mahasiswa Indonesia yang seolah memiliki lidah yang “kelu” untuk berkata tidak.
Namun, ketika sikap tidak enakan ini kita lakukan secara berlebihan, ditambah dengan jalur komunikasi kita yang semakin luas, tentu pada satu titik akan sangat merepotkan. Bisa dibayangkan, jika dalam kehidupan nyata ada banyak orang yang meminta tolong kepada kita, ditambah teman-teman kita di sosial media, lalu, apakah kita masih ada waktu untuk diri kita sendiri?
“It’s only by saying no that you can concentrate on the things that are really important”– Steve Jobs
Mungkin, disaat kita mulai merasa kewalahan dengan diri kita sendiri, sudah saatnya kita belajar untuk berkata: tidak. Kata itu mungkin sederhana bagi kita secara teori, namun dalam praktiknya, berkata tidak akan jauh lebih sulit.
Sebagian dari kita barangkali merasa sungkan, tidak enak, takut mengecewakan, atau bahkan takut menyakiti ketika berkata tidak pada seseorang, padahal, berkata tidak di waktu yang tepat justru adalah kebaikan bagi kita sendiri, loh.
Berikut alasannya.
1 . Awal Dari Masalah Adalah Ketika Kita Berkata Iya Terlalu Cepat
Nah, buat teman-teman yang selama ini merasa banyak melakukan pekerjaan atau terbebani yang sebenarnya bukan merupakan pekerjaan atau tanggung jawab kita, cobalah untuk refleksi: “apakah selama ini kita mengucapkan iya terlalu cepat?”
Jika benar demikian, maka kita harus berubah. Berkata iya terlalu cepat berpotensi menjadi boomerang bagi teman-teman dimasa mendatang. Berpikirlah secara matang dan dalam sebelum memutuskan sesuatu. Dan jika pada akhirnya teman-teman harus menolak dan berkata tidak, katakan saja.
Tidak selamanya apa yang kita dengar harus kita jawab dengan kata iya. Bisa jadi, tidak adalah jawaban yang lebih baik.
2 . Tidak Bukanlah Sebuah Kesalahan
Salah satu hal yang kita harus kita ingat bahwa berkata tidak bukanlah sebuah kesalahan. Layaknya sebuah kata iya, kata tidak merupakan opsi logis yang harus kita ucapkan ketika mendengar sebuah pilihan.
mengapa hal ini penting? Karena masih banyak dari kita yang berfikir bahwa ketika kita menolak sesuatu, maka kita sudah melakukan kesalahan. Padahal, tidak. Its just an option that we need to choose. That’s it!
Tidak ada yang salah dari berkata tidak. Justru, bisa jadi kata tidak berdampak positif. Misal, dengan berkata tidak kita bisa lebih dekat dengan keluarga, bisa punya waktu lebih untuk belajar, punya banyak kegiatan untuk berolahraga, dst.
Jadi, mulailah untuk berkata kepada diri sendiri bahwa kata tidak bukanlah sebuah dosa yang harus kita takuti. Karena bisa jadi berbuah kebaikan, kan?
3. Hidup Adalah Perkara Prioritas
Nah, yang tidak kalah penting untuk diingat bagwa hidup adalah persoalan prioritas. Sebuah rangkaian pilihan yang harus kita pertimbangkan aspek waktu dan urgensinya. Misal, kita sedang mengerjakan sebuah projek yang memiliki time limit yang singkat, eh ada temen yang meminta bantu dengan time limit yang jauh lebih singkat. Lalu, apa yang kita lakukan?
Untuk menjawabnya, kita harus tahu mana yang lebih urgen dan penting. Jika teman-teman merasa bahwa pekerjaan teman-teman jauh lebih penting dan mendesak, jangan ragu untuk berkata tidak. Kenapa? Karena kita juga memiliki prioritas yang juga layak untuk kita perjuangkan.
Satu hal yang bisa kita pelajari dari sikap tidak enakan adalah perkara menghormati dan menghargai. Tidak ada yang salah dengam hal tersebut. Namun, ketika hal yang diminta membuat kita merasa sangat terbebani dan menganggu prioritas yang sudah kita susun sebelumnya, maka tidak adalah pilihan jawab yang layak dipertimbangkan.
Jadi, udah lebih berani kan untuk berkata tidak?
“Kita bisa tetap menjadi orang yang baik dengan hati yang tulus dengan walau berkata tidak”– Lori Deschene