Beberapa waktu yang lalu, jagat tanah air kembali disibukkan dengan salah satu penyebutan kata “pribumi” oleh salah satu kepala daerah di Indonesia. Lantas, kejadian ini bagi sebagian kelompok dijadikan katalisator untuk pemerkaraan di meja hukum, walaupun pada satu pihak lainnya, kejadian tersebut dianggap jauh dari ranah perkara karena narasi yang dihadirkan dilandaskan pada kisah kolonialisme zaman penjajahan. Terlepas pada pro dan kontra akan pernyataan tersebut, bagaimana kemudian masyarakat di belahan dunia lain melihat persoalan pribumi dan non-pribumi?
Pribumi atau dalam istilah internasional disebut Indigenous, diperingati pada setiap tanggal 9 Agustus yang dikenal dengan International Day of World’s Indigenous People. Term Indegenous people sendiri dikonotasikan sebagai masyarakat asli yang mendiami suatu tempat yang kemudian dikolonialisasi oleh bangsa atau kelompok masyarakat lainnya diluar dari komunitas tersebut. Di dalam buku State of the World’s Indigenous People yang dikeluarkan oleh PBB pada 2009, definisi Indigenous people ditarik dari pengalaman kolonialisme dimasa penjajahan,
“The concept of indugenious peoples emerged from the colonial experience, whereby the aboriginal peoples of a given land were marginalized after being invaded by colonial powers, whose peoples are now dominant over the earlier occupants. (State of the World Indigenious People, 2009:6)
Jumlah indigenous people di dunia diperkirakan berkisar pada kisaran 200-300 juta orang yang tersebar diseluruh dunia. Pada konteks Australia sendiri, masyarakat Indigenious berjumlah lebih dari 669,900 jiwa ditahun 2016; atau sekitar 3% dari jumlah penduduk Australia. Dari beberapa masyarakat Indigenous yang terdapat di Australia, mungkin Aborigin menjadi salah satu yang paling kita kenal. Namun, selain itu, terdapat beberapa kelompok lainnya seperti Torres Strait Islander yang beraal dari kepulauan Torres Strait di Utara Queensland. Kelompok Aborigin sendiri terdiri dari dari beberapa ragam suku seperti Koori dari New South Wales dan Victoria, Nunga di South Australia dan Palawah di Tasmania. Masing-masing dari mereka memiliki corak yang berbeda satu sama lainnya. Kehadiran mereka di Australia diperkirakan sekitar 40-50 ribu tahun yang lalu, jauh sebelum kedatangan bangsa Inggris pada tahun 1788.
Walaupun dinamika interaksi sosial masyarakat di Australia terhadap kelompok Indigenous cenderung fluktuatif, namun perlahan saat ini pemerintah Australia terus bertekad memperbaiki hubungan internal diantara mereka. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya partisipasi kelompok Indigenous dalam dunia politik dan arena profesional lainnya. Di kampus saya sendiri, Monash, tak jarang setiap perkuliahan dan buku bacaan dimulai dengan tulisan berkonotasi penghormatan kepada para leluhur bangsa Australia,
”we acknowledge and pay respect to the Traditional Owners and Elders—both past and prsent—of the lands and waters on which our Australian campusses operate”
Terakhir, di era kontemporer saat ini, perlu ada kesepahaman didalam penggunaan istilah indigenous di tengah masyarakat dimana hal ini merupakan bagian dari sejarah kolonialisme masa lalu. Kedua, masing-masing elemen masyarakat diharapkan dapat menghargai setiap ciri dan corak dari masyarakat lokal sebagai bagian dari komunitas secara holistik. Ketiga, pendekatan kelas atas dominasi interior-inferior nampaknya tidak dapat digunakan lagi digunakan di konteks global saat ini dimana masyarakat lebih dinilai melalui keterampilan profesionalnya. Namun, hal ini sekali lagi hanya berlaku di negara yang memiliki masa lalu yang erat dengan kolonialisme yang bertahan hingga saat ini dan membentuk sebuah pemerintahan yang sah. Hal ini agaknya berbeda dengan Indonesia yang tidak lagi mengalami masa kolonialisme saat ini. Oleh karena itu, penggunaan istilah indigenous atau pribumi dalam klasifikasi sosial mungkin hanya dapat dilakukan dalam narasi atau kajian pra-kemerdekaan, tidak pada masyarakat dalam konteks saat ini. (*)