Belakangan ini, pemberitaan di media masa dan elektronik kita dihebohkan dengan pelbagai perbuatan yang tidak mengenakan yang dilakukan oleh petinggi di negara ini, katakanlah mulai dari tindakan kesewenang-wenangan di depan publik, korupsi, hingga penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan sendiri. Cobalah kita lihat lebih dalam akan profil mereka, kebanyakan dari mereka memiliki jabatan yang tinggi, status pendidikan yang mumpuni, dan kemampuan komunikasi diatas rata-rata. Singkatnya, mereka bukanlah orang biasa, mereka orang yang luar biasa dan terdidik. Lalu, kemudian bolehlah kemudian kita bertanya, kenapa pendidikan tinggi tidak menjamin manusia untuk jadi manusia yang baik, taat aturan dan rendah diri? Apakah memang tidak ada korelasi antara pendidikan yang terselenggara di lembaga pendidikan dan karakter yang terbentuk kepada para pelajar?
Beberapa dekade belakangan ini, jumlah sarjana di Indonesia meningkat drastis. Hal ini tergambar dari banyaknya jumlah pengangguran terdidik (sarjana) di Indonesia sebesar 695.304 jiwa. Hasil ini belum lagi mereka yang sudah terserap didunia kerja, jumlahnya tentu lebih besar secara akumulatif. Jumlah tersebut meliputi mereka yang menempuh studi di berbagai macam jurusan, mulai dari ilmu-ilmu sosial, sains, bahasa, dsb. Hal ini tentu saja menambah cakrawala keilmuan Indonesia didalam kontestasi global.
Hal ini jauh sekali berbeda jika kita bandingkan dengan jumlah sarjana di awal-awal kemerdekaan ataupun beberapa periode setelahnya. Tingkatan tertinggi bagi beberapa orang barangkali hanya sampai pada tingkatan S1; sebut saja Soekarno yang hanya menempuh strata 1 pada kajian Teknik dan banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang bahkan tidak menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun, masih teringat disanubari kita akan semangat dan etos kerja mereka pada zaman dahulu, bahwa mereka tidak hanya kompeten dibidang mereka, namun juga dalam hal karakter. Mereka jauh dari gaya hidup berfoya-foya, penuh pengabdian dan profesional dengan apa yang mereka lakukan. Hatta, misalkan dibuku yang ditulis anaknya sendiri, Mutia Hatta dikatakan pernah tidak memiliki uang hanya untuk membayar tagihan listrik paska ia menjadi Wakil Presiden. Dengan sederhana Hatta berkata, “kita pakai pelita saja, aku tidak mengapa”. Sungguh, sebuah prilaku yang sangat sulit kita temukan di era globalisasi ini, kesederhanaan, bahkan oleh seorang Mantan Wakil Presiden.
Walaupun tidak mengenyam pendidikan hingga pada capaian tertinggi—S3–, namun semangat integritas banyak kita temukan dalam tokoh-tokoh nasional kita terdahulu. Hal ini agaknya berbeda dengan zaman ini dimana banyak koruptor yang kemudian tertangkap tangan bahkan memiliki gelar akademik yang tinggi. Terdapat pergeseran nilai saat ini dimana kemudian masyarakat menganggap ilmu diatas segalanya, bahkan diatas adab itu sendiri. Hal ini berbeda dengan para tokoh zaman dulu dimana mereka lebih mengutamakan adab diatas ilmu itu sendiri sehingga apa yang mereka fikir dan perbuat sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat. Dengan pergeseran paradigma ilmu diatas adab, perolehan gelaran akademik dijadikan sebagai sebuah tujuan hidup, walaupun harus menempuh segala jenis cara.
Peletakan adab diatas fondasi ilmu setidaknya sudah pernah diingatkan oleh para ulama beberapa dekade silam. Imam Malik misalnya pernah berkata: “pelajari adab sebelum mempelajari ilmu”. Yusuf bin Al-Husain pernah suatu hari berkata bahwa dengan mempelajari adab, maka kita akan mudah dalam memahami ilmu. Banyak lagi ilmuwan dan ulama dahulu yang mempelajari adab jauh lebih lama daripada ilmu itu sendiri. Ibnul Mubarok pernah berujar bahwa “kami memperlajari adab selama 30 tahun sedangkan kami memperlajari ilmu selama 20 tahun.” Setidaknya, itu yang terlihat oleh tokoh-tokoh nasional kita dahulu, bahwa sikap dan integritas mereka dibangun diatas fondasi adab yang bermartabat, bukan sebaliknya. Dengan meletakkan ilmu diatas segalanya, maka akan timbul manusia perusak yang berbuat seenaknya dengan mengatasnamakan ilmunya. Mereka bisa merusak dengan ilmu sainsnya, merugikan yang lainnya lewat ilmu hukum dan ekonominya, atau memperalat manusia lemah lainnya lewat kemampuan komunikasinya. Jika hal ini terus terjadi, maka hakikat ilmu tidak akan hadir ditengah kehidupan manusia, namun ilmu yang telah terdistorsi oleh hasrat dan nafsu liar kehidupan.
Di hari guru ini, ada baiknya kita merefleksikan kembali tentang nilai-nilai apa yang ditanamkan guru-guru kita sewaktu sekolah dulu, tentang nilai kedisplinan, tenggang rasa, tanggung jawab, dsb. Saat ini, mungkin kita baru sadar mengapa guru-guru kita dulu sangat keras dalam mendidik adab kita, karena mereka tahu, hal itu merupakan landasan bagi cara kita berfikir dan bertindak dikehidupan dimasa mendatang. Bahwa memang benar adanya, adab harus kita hadirkan sebelum ilmu itu sendiri.
Selamat Hari Guru.
sumber gambar: http://iyoong.com/wp-content/uploads/2014/12/ami-300×220.png