Beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan huru-hara di media sosial tentang maraknya pengaduan kepada pihak yang berwajib yang diawali dengan penuturan kata yang bagi sebagian orang menyinggung; “bodoh, goblok, gila, cacat” dan berbagai kata sarkasme lainnya, atau yang lebih umum disebut sebagai ujaran kebencian. Bagi sebagian orang, kata tersebut sungguh sangat merendahkan dan alternatif paling ampuh untuk meresponnya adalah dengan menjadikan ini sebagai sebuah perkara yang berujung pada penjara pesakitan. Namun, coba kita perhatikan baik-baik, apakah ini sebuah fenomena dimana masyarakat menjadi semakin bebas dalam berkata-kata sehingga keluarlah kata yang bagi sebagian orang melecehkan? Atau barangkali kita sudah menjadi bangsa yang mudah marah dan baperan kata kids jaman now?
Australian Psychological Society mengasosiasikan kemarahan sebagai bentuk respon dimana kita memperoleh perlakuan yang tidak sama seperti yang kita inginkan, atau menyikapi sifat seseorang yang tidak kita ekspektasikan sebelumnnya. Satu hal yang harus kita pahami bersama bahwa kemarahan adalah bentuk artikulasi lain dalam merespon sesuatu. Bentuk kemarahan dapat diaktualisasikan kedalam dua cara: verbal dan non-verbal. Ujaran kebencian, cacian dan makian adalah bentuk ekspresi rasa marah yang dilakukan manusia menggunakan suara ataupun tulisan. Pada ekspresi melalui suara, biasanya dicirikan dengan nada yang menaik, menghentak disertai dengan ekspresi raut wajah yang mencekam. Lain halnya dengan kemarahan dalam bentuk non-verbal, dimana manusia pada umumnya mengekspresikanya dalam singgungan fisik. Hal ini dapat berupa pukulan, tamparan dan semacamnya. Tak jarang, ekspresi kemarahan semacam ini berujung pada akibat yang fatal.
Pada ujaran kebencian, ekspresi kemarahan dilakukan pada tatanan verbal ataupun tulisan. Lain halnya dengan kebencian non-verbal yang berakhir pada singgungan fisik, ujaran kebencian tidak akan mengakibatkan singgungan secara fisik, namun lebih secara batin. Objek penerima biasanya menanggapinya dengan diam, atau melakukan ekspresi responsif yang tidak menutup kemungkinan menjadi perangsang bagi tindakan kemarahan fisik lainnya. Disini sebenarnya letak inti permasalahannya; cara kita dalam merespon. Seperti yang kita ketahui berdasarkan definisi diatas, bahwa kemarahan timbul sebagai ekspresi responsif atas sesuatu yang tidak kita inginkan, maka cara meresponnya menjadi jauh lebih penting untuk dibahas daripada berputar pada bentuk-bentuk kemarahan saja. Dari sekian banyak respon kemarahan, barangkali kita harus berfikir ulang untuk menjadikan tertawa sebagai salah satu respon kemarahan. Ya, saya tidak sedang salah ketik. Tertawa.
Sebagai manusia biasa, kita dihadapkan pada respon perasaan yang bermacam-macam, seringkali sedih, tertawa, bahagia ataupun marah. Kita bisa saja tertawa sehabis menonton film komedi, namun kenapa kita tidak tertawa ketika ada yang mengatakan kita bodoh? Kita bisa saja tertawa terbahak-bahak saat membaca cerita atau video lucu di internet, tapi kenapa kita harus mencaci ketika ada yang mengatakan kita sinting? Gila? Goblok? Karena di dalam fikir kita, di dalam relung hati kita, kita menginginkan kesempurnaan, pujian, sanjungan sehingga membuat kita tersenyum. Namun, ketika itu semua tak kita dapatkan, apa yang kemudian kita marahkan sedangkan disaat yang sama kita sadar bahwa status kita sebagai insan manusia adalah lemah, hina, dan berwatak tanah yang rendah? Kenapa kita tidak mampu meresponnya dengan senyuman geli dan tawa terpingkal-pingkal dengan penuh refleksi diri?
Ketika kita mudah untuk kemudian menjadi marah karena ujaran kebencian yang diutarakan seseorang kepada kita, mungkin pada saat yang sama kita harus berfikir kembali ke dalam diri kita sendiri, mungkinkah kesombongan telah menyelimuti kita sehingga ekspektasi kita pada orang lain hanya berkisar pada sanjungan, pujian, dan penghargaan dan tidak menerima sebaliknya? Suatu saat, dimana almarhum Presiden Gusdur sedang ramai-ramainya menghadapi gelombang demonstrasi yang menginginkannya mundur, ia dengan gelagat santai berkata pada para pengawalnya, “gimana mau mundur, saya maju aja masih dituntun kok! Ha ha ha” Lalu semua tertawa membalas guyonan Gusdur tersebut yang dilakukannya atas refleksi diri akan pengelihatannya yang sudah tak sempurna lagi pada saat itu.
Kita memang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna yang diliput oleh banyak keterbatasan, dan kemarahan adalah salah satu keterbatasan manusia. Namun, dalam kaitannya dalam menghadapi ujaran kebencian yang kian kemari kian marak kita temukan di media sosial, barangkali tertawa adalah salah satu respon yang tepat. Mungkin dengan tertawa, kita mampu menggali lebih dalam seperti apa sebenarnya diri kita: sebagai makhluk Tuhan yang rendah dan tak punya apa-apa.
“Merendahlah, hingga kau tak mampu lagi untuk direndahkan. Mengalahlah, sampai kita tak mampu lagi untuk dikalahkan”