Indra Dwi Prasetyo

LPDP: ditengah irelevansi dan oto kritik

 

Beberapa tahun belakangan ini, LPDP menjadi salah satu beasiswa paling dicari bagi para pemburu beasiswa tanah air. Alasan ini sangat masuk akal mengingat tawaran beasiswa yang diberikan oleh LPDP itu sendiri, mulai dari biaya kuliah, tunjangan hidup bulanan serta seluruh kebutuhan akademik didalam proses perkuliahan. Jumlah yang dianggarkan pada tahun 2017 ini bernilai 22,5 triliun rupiah [1], jumlah yang cukup besar bagi sebuah pemenuhan kebutuhan pendidikan. Namun seiring perjalanannya, LPDP bukanlah tanpa kritik. Belakangan ini, isu bias gender dan SARA dalam proses rekruitmen kerap diberitakan oleh beberapa arus berita mainstream hingga akun Youtube milik Najwa Shihab [2]. Tak ayal, hal ini kemudian menimbulkan polemik ditengah masyarakat, mulai dari mereka yang pro hingga mereka yang kontra. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?

Isu gender dan seksisme dalam proses seleksi wawancara LPDP pertama kali diangkat secara masif di media sosial, salah satunya oleh Tunggal Pawestri, aktivis gender dan HAM melalui sosial media miliknya [3]. Tak butuh waktu lama, dalam hitungan jam banyak keluhan yang mengonfirmasi isu tersebut. Dalam wawancara Youtube milik Najwa Shihab, seseorang mengaku pernah ditanya mengenai agama seperti: “agamamu apa?”, “kamu tidak berjilbab kok mengurusi fashion hijab?”, hingga masalah internal seperti alasan bercerai dan family issues lainnya. Terlepas dari kontradiksi beberapa masyarakat akan itu, beberapa memandang ada hal-hal yang memang kurang pantas untuk digali, terlebih menyangkut persoalan yang terlalu sensitif dan personal. Lebih lanjut, ini merupakan seleksi penerima beasiswa yang jelas memiliki retorika akademik, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada isu seputaran akademik yang akan dikaji dan pelajari di perkuliahan seharusnya menjadi basis pertanyaan. Mengenai sistem belajar kita, langkah apa yang akan dilakukan ketika mengalami kendala saat perkuliahan dan lain sebagainya. Pertanyaan yang berkaitan erat dengan proses dan dunia akademik agaknya dinilai relevan untuk sebuah tes masuk beasiswa paskasarjana.

Namun, pada argumentasi berbeda,  tidaklah kemudian semua hal-hal yang berbau psikologis dan internal si penerima beasiswa tidak boleh digali dan dicari tahu. Untuk kasus pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada hal yang  sensitif, saya memandangnya dalam perspektif yang berbeda. Bahwa perkuliahan memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan individu si penerima beasiswa; mengenai perilaku, orientasi berpikir dalam menyelesaikan masalah maupun langkah prevensi internal ketika menghadapi perbedaan kultur bagi mereka yang ingin melanjutkan studi mereka diluar negeri, misalnya. Saya pribadi pernah ditanya ketika wawancara, “nanti bagaimana kalau dapat istri bule di Australia?”, lalu apakah ini merupakan hal yang sensitif? Saya pribadi tidak. Namun, kalaupun ada yang menganggapnya personal, menurut hemat saya, pertanyaan ini dimungkinkan untuk ditanyakan karena melihat sebuah realita bahwa tidak sedikit orang Indonesia beristrikan atau bersuamikan Warga Negara Asing. Pula,—walaupun saya tidak berniat menikah ketika kuliah—kemungkinan itu bisa saja terjadi kepada saya dan mempertanyakan permasalahan itu sangat logis untuk kemudian di argumentasikan oleh si pewawancara. Jika hal tersebut terjadi, misalnya, pasti sedikit banyak membawa efek turunan, bisa jadi konsentrasi kuliah saya terpecah, fokus menjadi terbelah dan prioritas menjadi berubah. Maka, dalam menyikapi setiap pertanyaan yang mengarah pada hal-hal sensitif, bisa saja diartikulasikan kedalam perspektif yang berbeda; ada nilai yang ingin dicari tahu dalam setiap pertanyaan dan studi kasus yakng diberikan. Tujuannya tidak lain tidak bukan untuk benar-benar menyaring para penerima beasiswa yang tidak hanya siap secara intelektual, namun pula mental. Karena LPDP itu sendiri merupakan beasiswa yang ditujukan untuk mempersiapkan para pemimpin negeri dimasa mendatang, sehingga agaknya pertimbangan mental dan personalia menjadi tolak ukur yang esensial untuk pula dipertimbangkan didalam proses seleksi itu sendiri.

Pro dan kontra dalam melihat fenomena ini memang sebuah resiko lembaga negara, terlebih yang dibiayai oleh uang pajak rakyat. Ini tidak lain merupakan check and balance masyarakat untuk memastikan bahwa kualitas dan luaran yang didapatkan memang sesuai dengan visi misi LPDP dan masyarakat Indonesia yang plural dan beragam. Bukan hanya dalam hal fisik, namun pula non-fisik seperti pola pikir dan budaya. Dalam umurnya yang masih seusia jagung, LPDP juga memerlukan kritikan untuk memperkuat eksistensi dan kebermanfaatannya, agar kemudian bisa berjalan sesuai dengan tracknya. Untuk itu, sikap petinggi LPDP [4] maupun Ibu Sri Mulyani [5] selaku Kemenkeu saya anggap positif dengan menerima setiap kritik serta melakukan oto kritik yang evaluatif. LPDP memang bukanlah lembaga yang sempurna, yang tidak memiliki celah untuk sebuah kekurangan. Terlebih merupakan lembaga yang belom lama berdiri, tentu banyak tantangan dan kritik yang dihadapi dalam rangka menjadikan LPDP sebagai garda terdepan dan terbaik sebagai lembaga pemberi beasiswa. Namun segala ketidaksempurnaan itu tidak lantas membuat kita berkecil hati akan lembaga ini; lembaga yang memberikan secercah harapan bagi anak-anak berprestasi kurang mampu dari pinggir-pinggir Indonesia seperti saya dan anak-anak berpretasi lainnya untuk belajar baik ke dalam maupun ke luar negeri. Hingga pada akhirnya, pendidikan di negeri ini mampu untuk merata dan melahirkan pemimpin-pemimpin besar bagi bangsa ini kedepannya.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Sumber

[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170131131232-78-190261/sri-mulyani-sebar-rp225-triliun-untuk-beasiswa-lpdp-2017

[2] https://m.youtube.com/watch?v=0U7hlcjWbbw

[3] http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41882916

[4] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3736082/seleksi-beasiswa-lpdp-berbau-sara-ini-penjelasan-dirutnya

[5] http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41979206

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top