Setiap tahun, kita “meyarakan” World Literacy Day yang diperingati pada tiap tanggal 8 September. Harus diakui, terdapat peningkatan semangat dan geliat pada kegiatan yang mengarah pada peningkatan literasi seperti kelompok membaca buku di Indonesia. Tidak jarang, kegiatan-kegiatan tersebut dipadupadankan dengan acara hiburan yang atraktif hingga pemilihan lokasi yang kekininian, seperti kafe-kafe nyentrik. Tanpa disadari, kegiatan ini sudah menjadi budaya popbagi anak-anak muda di kota-kota besar di Indonesia.
Maraknya aktifitas membaca buku belakangan ini juga bukan tanpa sebab. Setidaknya, ada beberapa argumen yang sering digunakan sebagai justifikasi. Pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) dari Organisation for Economic Co-Operation and Development(OECD) tahun 2015 serta World’s Most Literate Nations, produk penelitian Central Connecticut State University(CCSU) di tahun 2016.
Hasil penelitian pertama menempatkan Indonesia diurutan 62 dari 70 negara atas skor PISA yang dilakukan pada tahun 2015. Sebagai indikator, terdapat dimensi sains, membaca juga matematika. Hasil penelitian yang dilakukan oleh CCSI tidak jauh berbeda; menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara. Dalam penelitiannya, CCSI menggunakan dua variabel dalam mengambil datanya: hasil literasi siswa (sains, membaca dan matematika) juga ketersediaan penunjang literasi seperti koran, perpustakaan dan lama sekolah.
Refleksi Literasi Kita Hari Ini
Pemahaman masyarakat secara umum tentang literasi memang tidak bisa dilepaskan dari arti literasi itu sendiri. Menurut Cambridge Dictionary, literasi dapat dimaknai sebagai “the ability to read and write”, atau kemampuan baca tulis. Setali tiga uang, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga memberi definisi literasi sebagai kemampuan menulis dan membaca serta kemampuan individu dalam mengolah informasi untuk pengetahuan dan kecakapan hidup.
Namun, di tengah masyarakat, literasi kita hari ini masih dimaknai secara terbatas pada proses insan manusia untuk membaca dan menulis.
Pertanyaannya, apakah literasi hanya sebatas membaca dan menulis? Mengutip data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2018, setidaknya angka melek akasara yang meliputi membaca, menulis dan berhitung mencapai angka 97,932%, atau hanya sekitar 2,068% (3,474 juta orang) yang masih buta aksara.
Dari data tersebut, ada 11 provinsi yang memiliki angka buta aksara diatas angka nasional, diantaranya Papua sebesar 25,843%, NTB 7,787%, NTT 5,365%, Sulawesi Barat 4,36%, Kalimantan Barat 4,283%, Sulawesi Selatan 4,686%, Bali 2,908%, Jawa Timur 3,427%, Kalimantan Utara 2,562%. Kemudian Sulawesi Tenggara sebesar 2,510%, dan Jawa Tengah 2,267%.
Data yang berbeda juga dikeluarkan oleh Kemendikbud melalui program Indeks Alibaca (Angka Literasi Membaca) Indonesia 2019 yang terdiri dari Dimensi Kecakapan, Dimensi Akses, Dimensi Alternatif,danDimensi Budaya. Data tersebut mengonfirmasi bahwa Indeks Alibaca provinsi tertinggi diraih oleh DKI Jakarta, Yogyakarta dan kepulauan Riau. Sedangkan tiga provinsi terendah adalah Papua, Papua Barat dan Kalimantan barat.
Atas problematika di tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menelurkan beberapa regulasi untuk mengentaskan ileterasi dikalangan siswa-siswi Indonesia, misalnya adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 2017 tentang sistem Perbukuan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi Warga Negara Indonesia. UU ini menjelaskan tentang perbukuan, mencakup tentang pemerolehan naskah, penerbitan hingga penyediaan dan pengawasan buku.
Selain itu, secara teknis, adapula Peraturan Menteri Penddikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti juga mengamanatkan siswa-siswi untuk melakukan pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar di kelas.
Secara regulasi, baik itu regulasi yang bersifat nasional maupun teknikal di sekolah-sekolah, literasi sudah dianggap sebagai sesuatu yang penting. Pertanyaannya, apakah upaya-upaya tersebut cukup?
Manusia Sebagai Subjek Literasi
Ignas Kleden (1999) mengklasifikasikan minat membaca kedalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang secara teknis sudah bebas dari buta aksara, namun karena akses dan motivasi yang rendah, kemampuannya perlahan menurun ataupun hilang. Secara teknis, kelompok pertama ini telah melek aksara, namun buta aksara secara fungsional.
Kelompok kedua adalah mereka yang baik secara teknis dan fungsional telah melek aksara. Namun mereka belum bisa menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah keterampilan, berekspresi ataupun untuk hiburan. Secara teknis, kemampuan melek aksara mereka digunaka untuk pekerjaan dan kebiasaan rutin.
Kelompok terakhir adalah mereka yang melek aksara dan mampu untuk mengakselerasikan kemampuan tersebut untuk kebutuhan hidup mereka, baik yang bersifat rutinitas maupun untuk aktualisasi diri mereka. Pada tingkatan ini, literasi tidak lagi dimaknai sebagai tujuan, melainkan alat primer untuk mencapai tujuan hidup yang lebih kompleks.
Berkaca pada angka melek huruf Kemendikbud (2018) secara nasional sebanyak 97,932%, sebenarnya, mayoritas masyarakat Indonesia sudah tergolong masyarakat yang melek secara aksara. Hanya saja, literasi tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai proses membaca atau menulis semata.
Freire (1973) misalnya, mengartikulasikan literasi sebagai kemampuan dan kebiasaaan manusia untuk hidup dan berinteraksi secara akseleratif dan produktif di tengah masyarakat. Kemampuan ini, tentu saja, tidak dapat diperoleh dengan hanya membaca dan menulis, namun lebih dari itu: apa yang akan kita perbuat dengan membaca dan menulis?
Selama ini, proses literasi seolah dimaknai tunggal, dimana bahan bacaan berperan sebagai subjek, dan manusia sebagai objek transfer informasi. Justru, untuk dapat memaksimalkan potensinya, literasi harus dimaknai terbalik, dimana bacaan sebagai objek, dan manusia sebagai subjek berfikirnya.
Misalnya, literasi tidak hanya berhenti ketika seseorang selesai membaca buku. Literasi justru baru akan maksimal jika terjadi “perdebatan” secara argumentatif dalam kepala si pembaca, mendiskusikan apa yang dibaca kepada orang lain, atau melakukan sebuah perbuatan nyata didasarkan atas buku tersebut. Singkatnya, proses literasi tidak habis ketika buku itu ditutup, namun sebaliknya, aktivitas literasi justru diniscayakan semenjak kita menutup buku.
Oleh karenanya, literasi tidak dapat lagi kita maknai sebagai upaya pasif manusia untuk sekadar menyerap informasi pada sebuah bacaan, namun lebih dari itu, sebagai upaya aktif untuk mengolah, mengkritisi, dan mengaktualisasikan informasi akan bacaan tersebut dalam kehidupan nyata.
Literasi: Mau Kemana?
Berdasarkan informasi di atas, penting bagi kita untuk kembali berfikir, mau kita bawa kemana literasi kita hari ini?
Apakah literasi kita cukupkan dengan kemampuan insan manusia untuk membaca dan menulis, atau literasi kita maknai sebagai sebuah kemampuan dalam diri manusia untuk dapat mengakselerasi diri mereka menjadi insan yang lebih produktif dan bermanfaat?
Oleh karenanya, kegiatan-kegiatan literasi semacam membaca buku tidak boleh berhenti pada peningkatan jam membaca atau jumlah buku yang dibaca, namun harus lebih dalam dari itu; bagaimana bacaan bisa kita apresiasi, kritik, bedah, dan yang terpenting, bagaimana bacaan tersebut teraktualisasi, baik secara teknis maupun ide untuk membuat manusia tersebut lebih cakap dan produktif.