Dewasa ini, pendidikan tinggi menjadi hal yang seksi di kalangan masyarakat, terutama mereka yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka di sekolah menengah atas. Hal ini tentu saja kontras dengan Indonesia 20 atau 30 tahun silam, dimana akses ke kampus sangat terbatas. Melihat fenomena ini, di satu sisi, kita dapat melihat bahwa kualitas pendidikan kita cenderung progresif. Terbukti dengan peningkatan jumlah mahasiswa. Namun, pada sisi lainnya, benarkah perguruan tinggi merupakan jalan satu-satunya pendidikan? Atau, adakah alternatif lain selain belajar di kampus?
Tahun 2017 yang lalu, Tom Nichols menulis buku The Death of Expertise yang sedikit banyak menggelitik kesadaran kita tentang runtuhnya otoritas keilmuan (expertise) di tangan internet dan sosial media hari-hari ini. Nichols menjelaskan ke kita bagaimana masyarakat lebih percaya kepada sesuatu sosok figur yang “viral” dan terkenal daripada seorang pakar/ahli. Fenomena ini banyak kita temui, mulai dari fenomena bumi datar, isu kebohongan COVID-19, vaksin sebagai agenda human control, dll.
Terlepas dari keseluruhan isi buku tersebut, subjek mengenai keruntuhan otoritas menjadi hal yang menarik untuk kita telisik. Bagaimana tidak, kampus yang selama ini kita pandang sebagai pusat otoritas keilmuan mampu dengan mudahnya terdisrupsi oleh ilmu pengetahuan alternatif yang jumlahnya tak terhingga di internet hari-hari ini. Kita bisa menemukan tutorial cara membuat obat, strategi menjual makanan cepat saji, hingga panduan memahami undang-undang hukum pidana, semua tersedia dengan jamak di internet. Sebuah ilmu yang mungkin 10-20 tahun lalu hanya tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan kampus.
Membludaknya ilmu pengetahuan, setidaknya menimbulkan pertanyaan lanjutan: apakah semua tumpukan ilmu tersebut bermanfaat? Ataukah hanya menjadi tumpukan-tumpukan ilmu, layaknya buku-buku usang di perpustakaan?
Learn, Unlearn, Relearn
Dengan fenomena di atas, pada titik ini, kita sepakat bahwa akses untuk memeroleh ilmu pengetahuan terbuka sedemikian lebar. Kita dapat mengakses apa yang kita mau, nyaris tanpa harus mengeluarkan biaya satu rupiahpun. Hal ini tentu saja menyentil institusi pendidikan yang, bisa jadi, tidak terjangkau baik dari segi lokasi, hingga pembiayaan. Proses belajar “open source” tersebut bisa kita sebut sebagai “Learn”.
Proses “Learn” meniscayakan kita untuk mempelajari hal-hal baru di sekitar kita dengan bantuan internet hari ini. Kendati demikian, “Learn” yang dilakukan secara terus-menerus berpotensi menumpuk ilmu pengetahuan layaknya tumpukan buku yang usang. Proses “Learn” secara linear juga berpotensi membuat orang-orang menjadi sulit bertumbuh, alih-alih menjadi pembelajar ulung, namun menjadi orang yang tertutup dengan hal baru.
Saya tidak menafsirkan “Learn” pada makna umum, yang saya maksud atas “Learn” adalah seperti proses mengisi gelas kosong. Lama-kelamaan, gelas kosong tersebut akan terisi penuh, lalu akan meluap tumpah jika dipaksa. Jika sampai tertumpah, ilmu pengetahuan yang banyak jumlahnya itu tak lagi memiliki nilai tambah. Mereka yang mempelajarinya-pun pada akhirnya stagnan dan jauh dari kata berkembang. Pada saat ini terjadi, kita membutuhkan sebuah proses “unlearn”
Barry O’Reilly pada tahun 2018 lalu menulis dengan apik apa itu proses “Unlearn” melalui bukunya “Unlearn: Let Go of Past Success to Achieve Extraordinary Results”. Menurutnya, “Unlearn” bukanlah membuang apa yang kita tahu, namun menyeleksi ilmu apa saja yang masih relevan, dan apa saja yang harus kita perbarui (upgrade). Di tengah masifnya arus ilmu pengetahuan, proses Unlearn menjadi salah satu proses kunci untuk menjadi manusia yang adaptif.
Mungkin terlihat sederhana, tapi nyatanya tidak demikian. Proses unlearn memaksa kita untuk melepas apa yang kita punya dimasa lalu, untuk memeroleh apa yang kita belum tahu di hari ini untuk kebaikan di masa depan. Misalnya, kita adalah juara olimpiade matematika di masa lalu, proses Unlearn meniscayakan kita untuk berpikir ulang: “apakah gelar tersebut masih kita perlukan hari ini, atau kita harus belajar hal lain lagi agar keahlian kita dapat berkembang lebih jauh?”
Kemampuan untuk unlearn akan menjadikan kita manusia yang lebih arif, bijaksana dan adaptif, karena kita tidak hidup di masa lalu, namun terus belajar menjadi manusia yang bersaing dengan realita hari ini dan masa depan. Pada tahap ini, kita memerlukan sebuah kemampuan lainnya: relearn. Kemampuan relearn adalah sebuah upaya kita untuk menyadari bahwa kita memerlukan hal baru, dan berupaya untuk mempelajarinya. Misalnya, seorang lulusan Ekonomi yang baru saja lulus dari kampus ternama, harus bersaing dengan dunia start up, maka ia perlu relearn pengetahuan lain, misalnya IT, legal atau komunikasi.
Masa Depan Pengetahuan
Di tengah arus ilmu pengetahuan yang meluas di internet, agaknya kampus tidak lagi memainkan peranan kunci sebagai lembaga sakral dalam transfer ilmu pengetahuan. Internet mulai memainkan peran sebagai sarana pendidikan alternatif bagi mereka yang ingin mencari hal lain dan baru. Kendati demikian, tidak semua pengetahuan yang kita dapatkan di internet dapat kita serap semuanya. kemampuan kita untuk memilah-memilih apa yang harus kita “buang” dan pelajari kembali menjadi satu hal yang penting, jika tidak ingin dibilang mendesak.
Semua orang dapat mempelajari hal baru di internet, namun tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memaksimalkan ilmu tersebut dan menggabungkannya dengan ilmu yang ia miliki sebelumnya. Dengan demikian, kemampuan untuk “Learn”, “Unlearn” dan “Relearn” menjadi sangat relevan.
Dengan demikian, kita tidak akan tenggelam dalam lautan ilmu yang berserakan di internet. Justru sebaliknya, kita dapat menjadi manusia progresif nan adaptif yang selektif dalam memilih apa yang harus kita pelajari, serta apa yang harus kita “take out” dari apa yang sudah kita ketahui.
“The illiterate of the 21st will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn“– Alvin Toffler
4 thoughts on “Learn, Unlearn, Relearn: 21st Century Learning”
Terima kasih atas ilmu nya bang Indra.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat 🙂
Terima kasih atas ilmu nya, bang Indra.
JazakumuAllahu khoiron Bang Indra. Akhirnya punya referensi buku tambahan yang harus diburu.