Al-Hikam bukanlah sembarang kitab. Kitab ini banyak digunakan dalam kajian-kajian pesantren di Tanah Air. Penggunaan kitab Al-Hikam sama prinsipnya seperti kitab Ihya Ulum al-Din karya ulama besar Islam: Imam Al-Ghazali.
Al-Hikam ditulis oleh Ulama Islam Ibn ‘Athaillah, berisikan mengenai ilmu-ilmu hikmah. Tak jarang, kitab ini sering dianggap mengandung nilai-nilai makrifat yang sulit dipahami. Kesulitan itu dapat dipahami karena kalimat-kalimatnya yang sigkat dan kaya makna serta interpretasi. Tak ayal, banyak ulama kenamaan yang mengulasnya seperti Ibn ‘Abbad (1331-1390) dan Ibn ‘Ajibah (1749-1809).
Insyaallah–jika tidak ada halangan berarti–selama bulan Ramadhan ini, saya (dengan keterbatasan ilmu saya) akan membahas beberapa isi Kitab Al-Hikam yang saya pandang relevan dengan kehidupan kita sehari-sehari. Semoga bermanfaat.
“Di antara tanda suka mengandalkan amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan” (Al-Hikam)
Banyak daripada kita yang kemudian tinggi angan ketika mendapatkan sebuah kegagalan. Narasi semisal di bawah ini sering kita jumpai pada diri kita sehari-hari:
“Ah, coba aku tidak kesana ya, pasti ini tidak kejadian!”
“Coba saja aku lebih teliti dengan jawabanku, pasti nilaiku lebih tinggi!”
Sering kita menginginkan hasil yang sempurna dalam setiap kejadian dalam hidup kita, namun kadang kita luput, bahwa kita lupa menempatkan Allah dalam setiap perbuatan dan tindakan kita. Padahal, seharusnya kita melibatkan Allah SWT dalam setiap tindakan kita, sehingga apapun hasilnya tidak akan mwngubah kedudukan kita di sisi Allah SWT.
Maka, senantiasalah bekerja keras sembari tetap beribadah tunduk kepada Allah SWT. Di saat yang sama, beribadahlah dengan benar dan ikhlas, maka bekerjapun menjadi lepas. Bila sesekali kita tergoda dengan biasnya tujuan ibadah, kembalikan lagi niat kita semata-mata kepada Allah SWT.
Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (QS. 53: 24-25)
Maka, sebagai orang yang beriman, kita harus senantiasa percaya bahwa apa yang terjadi dalam hidup in pula penuh dengan hikmah, termasuk setiap kegagalan-kegagalan dalam hidup. Dalam narasi yang berbeda, Ibn ‘Attaillah pernah berujar:
“Menggebunya semangat tak akan mampu menerobos benteng takdir.” (Al-Hikam)
Maka, titik temu antara kehendak kita sebagai hamba manusia dengan kehendak Allah SWT bagaikan angin yang membatasi busur panah dengan titik sasaran. Meskipun perhitungan kita akurat dimata kita manusia, bisa saja angin yang datang tiba-tiba membelokkan busur panah kita.
Atas dasar itu, tugas kita sebagai manusia adalah untuk memfokuskan perhatian pada sasaran, serta mempersiapkan segala macam kemungkinan untuk berhasil maupun tidak. Selebihnya, biarkan ketentuan-Nya yang bermain.
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. 39: 38)
“Istirahatkan dirimu dari ikut mengatur (urusanmu). Sebab, apa yang telah diurus untukmu oleh selainmu tak perlu lagi kau turut mengurusnya” (Al-Hikam)
“Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijamin untukmu dan kelalaianmu mengerjakan apa yang dituntut darimu merupakan bukti padamnya mata hatimu.” (Al-Hikam)
1 Ramadhan, Melbourne, Australia
Wallahu A’lam Bish Shawab. Wallahu A’lam Bish Shawab
Sumber: El-Hasany, I. S. (2015). Al-hikam: Untaian hikmah Ibnu Athaillah. Jakarta: Zaman.
1 thought on “Kajian Ramadhan #1: Berserah Pada Takdir dan Anugerah”
Pingback: Kajian Ramadhan #2: Agar Hati Tidak Terhalangi – Unlimited Possibilities