Indra Dwi Prasetyo

Hoax: perkawinan informasi dan gosip

hoax

Persis, semenjak kemunculan sosial media baik berupa instant messenger ataupun micro-blogging sejenis Twitter dan Facebook,  kita disibukkan dengan pelbagai hal yang berhubungan dengan berita palsu, awam masyarakat menyebutnya hoax. Tak jarang, banyak kemudian pertikaian yang tercipta baik yang disengaja maupun tidak sebagai buah dari distribusi hoax tersebut. Menuut hemat saya, salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari distribusi hoax adalah kegemaran masyarakat untuk bergosip. Tidak hanya dlakukan diruang privat bersama teman sejawat, faktanya, banyak kemudian gosip yang terekspos di dunia virtual yang berakhir dengan blunder karena diaminkan oleh banyak warga netizen lainnya. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi fenomena milenial tersebut?

Jauh sebelum kita berbicara hoax kontemporer seperti bumi datar ataupun meningalnya B.J Habibi yang sempat heboh beberapa waktu silam, kegemaran manusia untuk bergosip akan suatu hal yang masih simpang siur sudah terjadi dalam waktu yang lama. Harari (2011) disalah satu bukunya “Sapiens: A Brief History of Humankind” menjelaskan bahwa ketertarikan manusia untuk bergosip bermula pada saat terjadinya Revolusi Kognitif (Cognitive Revolution) pada diri manusia, sekitar 30-70 ribu tahun yang lalu. Dalam prosesnya, bergosip digunakan untuk kebutuhan sosial dan bertahan hidup. Hal ini, misalnya, memberitahu tentang keberadaan hewan buas ataupun bencana alam yang terjadi yang kemudian disebarluaskan oleh setiap komunitas manusia dari yang satu ke yang lainnya. Selanjutnya, Harari menyebut, efektifitas gosip menggunakan metode ini hanya mampu bertahan dalam batasan 150 orang, yang mengakibatkan biasnya informasi jika terus didistrubsikan lebih dari nominal diatas tersebut. Disinilah awal mula berita palsu itu berkembang melalui informasi yang simpang siur yang terlahir melalui distribusi percakapan-percakapan manusia dalam skala luas.

Ribuan tahun setelahnya, proses berkirim informasi berevolusi menggunakan beberapa media-media perantara, sebutlah sepucuk surat, radio, telegram, handphone hingga media sosial yang kini hampir dimiliki setiap insan. Walaupun pertukaran informasi dilakukan melalui media yang lebih terbarukan yang dapat menghemat waktu tempuh dan biaya operasional, corak-corak bertukarnya informasi relatif sama dengan cara-cara tradisional—informasi yang didapat disebar dari orang yang satu ke orang lainnya. Situngkir (2011) menyebutnya fenomena ini seperti “information epidemiology” dimana informasi yang kemudian beredar ditengah masyarakat tersebar dengan sangat cepat persis seperti virus yang dapat menyebar sangat masif dalam hitungan detik. Apakah kemudian informasi tersebut dapat dipercaya sudah bukan barang penting lagi, yang terpenting adalah distribusi informasi yang dapat menjangkau khalayak manusia lainnya.

Fenomena hoax pada dasarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama dimulai dengan kegemaran manusia untuk bergosip satu sama lain. Gosip yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pada akhirnya mengakitbatkan terpeliharanya informasi yang tidak teruji validitasnya didalam objek komunikasi masyarakat. Hal semacam ini ditunjang dengan kemudahan berkomunikasi melalui media sosial dimana laju arus informasi ditentukan oleh ujung jari (one-click share). Perlu ada kesadaran dari kita semua untuk menahan diri dari distribusi informasi yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dimulai dengan tidak mudah melakukan klik-share di media sosial kita masing-masing. Walaupun kita sadar bahwa budaya gosip dan bergosip masih cukup kentara ditengah masyarakat sebagai makhluk sosial, namun nampaknya kita masih dapat menahan diri kita sendiri untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam pusaran gemuruh informasi yang belom teruji kebenarannya, tentunya dalam kapasitas kita sebagai mahkluk individu yang masih dapat mengontrol apa yang akan kita rasa, fikir, dan perbuat. (*)

 

Referensi:

Harari, Y. N. (2011). Sapiens: A brief history of humankind. Random House UK.

Situngkir, H. (2011). Spread of Hoax in Social Media. SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.1831202

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles
Apa yang ada di dalam fikiran kita semua ketika terlintas kata “barang bekas”? Barangkali,
Teruntuk adik-adikku di kampus, belajarlah dengan tekun. Belajarlah dengan etos belajar yang tinggi, jika

3 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published.