Sedari malam kemaren, lini masaku dipenuhi komentar kekalahan Real Madrid di kandangnya sendiri—Santiago Bernabéu—menjamu Barcelona. Tak main-main, Real Madrid dengan rendah hati mengalah 0-3 dari rival abadi mereka. Beberapa ada meme-meme bernada sarkas berseliweran; ada yang marah, ada yang puas tertawa, dll.
Pola-pola seperti ini keral dirasakan ketika pertandingan bola. Pada titik ekstrim, tawuran tak dapat dihindari dari kedua belah suporter. Padahal, kalau dipikir-pikir, ini hanya sebuah olahraga, toh? Namun menurut mereka, itulah sensasinya. Menjadi pendukung fanatik, apapun tentang timnya harus diikuti, pernak-pernik bola yang bermuatan timnya harus dibeli, dll. Ya, mereka adalah penggila bola.
Terlepas dari fakta diatas, saya lebih menyukai menjadi waras bola. Menonton bola ketika emang kepengen, kalau ada jersey bola yang kebetulan bagus, apapun timnya, akan saya beli. Nah, ini yang terpenting, saya mendukung tim yang hati saya ingin dukung pada saat menonton. Bisa jadi hari ini saya mendukung A, besok B, tahun depan kembali lagi ke A. Ini sensasinya, fleksibilitas.
Saya selalu nyeleneh seperti ini ke teman-teman gila bola saya: “la wong pemain dan pelatihnya yang dibayar mahal aja bebas pindah-pindah tim, masak kalian yang gak dibayar mau tetap di satu tim doang, rugi dong! Ayo cari tim lain!”
Tapi ya namanya gila bola, bagi mereka ya tim mereka yang paling canggih. Mau pelatihnya ganti, kipernya ganti, nama stadiumnya ganti, bahkan bintangnya ganti; mereka tetap mencintai timnya tersebut. Terlepas dari apapun itu, saya harus belajar kesetiaan dari mereka. Namun, mereka juga harus belajar menjadi lebih realistis: bahwa waras bola bisa menjadi sebuah opsi alternatif!
Picture by: Apriliandi