“Jangan rindu, ini berat.
kau takkan kuat, biar aku saja”
Beberapa hari terakhir, lini masaku dipenuhi dengan pelbagai ornamen khas Dilan–sebuah karakter fiktif karya Pidi Baiq–yang berceloteh mengenai cita anak SMA. Beberapa teman memujinya, mengatakan bahwa Dilan adalah makhluk paling romantis di muka bumi ini. Well, aku tidak ingin berkelakar lebih jauh perihal Dilan sebagai anak muda yang keren dan romantis, namun lebih dari itu, ada pesan implisit yang terbilang cukup nyaring dari dalam diri Dilan yang dimungkinkan untuk diinspirasi oleh anak muda lainnya; akuisme.
Tidak bisa kita pungkiri bahwasanya film di Indonesia menjadi salah satu tolak ukur anak muda dalam hal trendsetter. Dulu, pemeran Rangga di AADC (Ada Apa Dengan Cincahlaura) cukup sukses merubah pola pikir anak muda dimasanya. Sosok Rangga yang cool dengan buku bacaannya menyita perhatian kaum lelaki untuk diidentifikasi a.k.a dimirip-miripin. Setelah Rangga, kita ingat bagaimana Filosofi Kopi menjadi salah satu batu loncatan anak muda ala-ala kopi dan barista di Indonesia. Barangkali, sebelum Filosofi Kopi, warung kopi dan barista tidak begitu diminati oleh anak muda, dan semua berubah semenjak negara api menyerang kemunculan Filosofi Kopi. Begitu halnya dengan para pendaki gunung setelah film 5cm, dimana jalan cerita dan perjuangan anak muda dalam mencintai alam menginspirasi anak muda Indonesia untuk turut pula melakukan hal yang sama. Beberapa fenomena diatas merupakan sedikit dari banyak hal yang ditiru anak muda Indonesia perihal artis dan jalan cerita sebuah film.
Merujuk kembali pada karakter Dilan, seorang yang romantis-perfeksionis-dan-drama-banget ini pasti akan melahirkan anak-anak muda lainnya yang terinspirasi dengannya. Namun, ada kecenderungan akuisme yang tinggi yang telah saya sampaikan sebelumnya. Mengenai Aku, dan segala tentangku. Pola akuisme pada kalimat “kau takkan kuat, biar aku saja” mengindikasikan pernyataan yang sentris mengenai diri kita sebagai makhluk yang individualis. Bahwa, ini pekerjaan berat, kau jangan ikut campur, kau takkan mampu, serahkan saja padaku. Dilan mengajarkan kita untuk menelisik kembali pola pikir individualistik ditengah teriknya gelombang individualisme dalam arus globalisme saat ini; tentang keakuan yang tinggi. Hal ini sangat lumrah kita temukan dipinggir-pinggir jalan dan pusat-pusat perbelanjaan, dimana orang lebih mementingkan dunianya sendiri melalui telepon genggamnya daripada melakukan interaksi sosial disekelilingnya. Melakukan identifikasi tokoh Dilan mungkin saja menghasilkan mereka yang romantis dengan kata-kata sederhana penuh maknyanya, namun menjadi pribadi yang sentris dengan ruang lingkup sendiri yang sempit, tanpa memerdulikan sekitarnya.
Fenomena tokoh Dilan memang menarik untuk diulas dalam segala macam aspek, dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari kekuatan kata-kata Pidi Baiq dalam meramu dan menciptakan karakter dengan gaya yang kokoh dan khas seperti Dilan. Namun, ditengah peliknya persoalan anak muda #zamannow, saya pribadi ragu bahwa tokoh Dilan akan banyak membantu anak muda untuk keluar dari zona nyamanya. Malah sebaliknya, Dilan akan kembali mengajarkan anak muda untuk fokus kepada persoalan zamannow (cinta-cintaan) namun abai terhadap kondisi sekitarnya. Lebih lanjut, fenomena superman ala Dilan memang tidak lagi bisa ditiru di abad 21 ini, dimana seorang individu mampu melakukan banyak hal seorang diri seperti cerita-cerita legenda dahulu kala. Namun sebaliknya, superteam akan jauh lebih memiliki nilai kebermanfaatan dan sinergitas dimana anak muda mampu melakukan sebuah pekerjaan secara gotong royong dan simultan. Singkatnya, kalau kata “kita” mampu untuk kita ucapkan pertama kali, maka kata “aku” sekiranya tak perlu kita ucap sesekali. Sudahlah Dilan, rindu itu tidak berat, buktinya kau mampu melakukannya sendirian. Merawat Indonesia jauh lebih berat, maukah kita bersama-sama melakukannya?
2 Februari 2018,
Melbourne