Indra Dwi Prasetyo

dan Si Paling Ekonomi itu Bernama Laki-Laki

Dan Si Paling Ekonomi itu Bernama Laki-Laki

Kendati kalimat “oikos” sendiri dalam kata ekonomi berarti rumah dalam bahasa Yunani, tapi kayak-kayaknya, manusia modern hari ini tidak begitu tertarik dengan apa yang ada di dalam rumah.

Begitupula dengan segala aktifitas di dalamnya.

Mari kita tengok ke belakang ketika para Ekonom mulai mencari tahu tentang model ekonomi dan manusia. Tidak lama berselang, kita mulai bisa mendengar konsep “Manusia Ekonomi”

Sederhananya, konsep ini melihat bahwa manusia memiliki harga–price tag.

Di sini, kayaknya belum terlihat problematik, ya? Oke mari kita masuk.

Naasnya, ketika hal ini diaplikasikan, kita tentu bisa menebak siapa yang memiliki price tag paling tinggi? Benar. Laki-laki.

Laki-laki dianggap memiliki price tag paling tinggi karena memiliki kebebasan waktu untuk berekspresi. Memiliki jam yang longgar untuk bekerja dengan bebas.

Misal, ia bisa bepergian dari pagi, lalu meeting di waktu siang, dan lembur hingga waktu malam. Tentu saja, ini harga yang tinggi dalam ekonomi!

Tapi tidak untuk perempuan. Setidaknya, jika pun ia tidak memiliki keluarga, ia harus berdamai dengan haid bulanan yang kadang membuat kondisinya tidak fit.

Memiliki keluarga tentu hal yang berbeda. Ia harus menyiapkan makan. Menyuapi anaknya, menyusui dan menemani anaknya hingga tidur.

Dan tentu saja, pekerjaan rumah yang lain dari menyapu, mengepel, menyeterika dan kegiatan lain yang dapat saya list hingga panjang.

Logika Ekonomi yang Problematis

Tahun 50an, para Ekonom di Chicago, sebuah kampus raksasa US tertarik untuk mencari tahu model matematika dari manusia. Mereka ingin lebih jauh melihat bagaimana manusia secara holistik menggunakan kacamata ekonomi.

Gary Becker
Gary Becker, Peraih Nobel Ekonomi

Gary Backer, yang kemudian mendapat Hadiah Nobel Memorial tahun 1992, adalah salah satu pemrakarsa gagasan ini.

Gagasan ini, menurut Michel Faucault, too far!

Gagasan ini tidak hanya berbahaya, tapi benar-benar menjadikan manusia semakan ultra kapitalis.

Namun, apapun itu, gagasan ini berjalan.

Mereka hadir dengan premis-premis awal, misal, mengapa manusia menikah? Mengapa single? Mengapa bercerai, dst.

Gagasan-gagasan ini mendukung lahirnya beberapa konsep, salah satunya: mengapa upah perempuan lebih rendah?

Konsep umum dan pertama secara ekonomi, ya karena perempuan emang layak digaji rendah. Mereka layak digaji rendah karena emang seperti itulah pasar bekerja.

Pasar mana yang mau menggaji tinggi perempuan yang cuti melahirkan? Tidak ada, bukan?

Terlebih, waktu yang mereka habiskan untuk mengurusi anak dan suami di rumah menjadikan mereka orang yang kurang produktif lagi dalam bekerja.

Mereka pasti sudah lelah, fisik dan mental, sebelum hadir ke kantor untuk “bekerja”

Selain konsep ekonomi di atas, konsep biologi juga kerap dianggap berpengaruh.

Misal, ya kenapa perempuan layak digaji rendah, karena ia…..perempuan.

Seseorang yang memiliki hormon estrogen–yang tentu tidak bisa ia pilih ketika ingin dilahirkan.

Tidak heran, jika Sigmund Freud–seorang Pakar Psikoanalisis– berkata bahwa perempuan dari sananya emang suka berdandan karena emang secara biologis, mereka terbiasa membersihkan kemaluan mereka yang rentan kotor.

Huh, melelahkan sekali menulis kalimat di atas.

Manusia Tanpa Price Tag

Tentu saja, tulisan ini tidak akan cukup untuk menulis argumen dan konsep yang dilahirkan dari gagasan “Manusia Ekonomi” di atas. Namun yang menarik, apakah hal tersebut masih relavan?

Pertama, gagasan itu muncul, bisa saja, ketika dunia belum mengenal robot pembersih rumah (?)

Atau, mesin cuci bukaan depan yang bisa membersihkan baju kotor hanya dalam menggunakan sebuah tombol?

Gagasan di atas memang bisa jadi tidak relevan lagi, tapi secara praktik masih banyak terjadi di sekitar kita.

Perempuan dan Kesetaraan
Perempuan dan Kesetaraan

Perempuan yang berpendidikan, dengan etos kerja lebih baik, tetap aja dipandang sebelah mata.

Oleh karenanya, konsep manusia ekonomi tidak hanya mengerdilkan, tapi juga terlalu sempit dalam melihat manusia.

Karena, pada prinsipnya, manusia tidak hanya dilihat secara apa yang tampak, tapi apa yang tidak tampak.

Misalnya, apakah presentasi kita yang oke ketika meeting bisa terjadi kalau ibu-ibu pedagang warteg tidak menjual makanan yang kita makan? Petani tidak bertanam diladangnya? Hingga penjual parfum yang membuat kita wangi?

Faktanya, ada banyak peranan orang yang tidak terlihat yang membuat kita seperti ini. Itulah kerja-kerja mutualisme.

Ada saatnya kita berada di garda depan, dengan dukungan orang-orang dibelakang kita. Ketika ini terjadi, tidak berarti kita yang paling “ekonomis”

Kerjasama dalam mengangkat harkat-martabat manusia adalah sebaik-baiknya kita berpikir dan bekerja.

Ada kalanya suami kerja dan istri menyiapkan pakaian kita. Tapi ada kalanya istri berangkat kerja, suami yang menyetetir kendaraan.

Keduanya sama baiknya. Sama bernilainya.

Gary Backer, Sigmund Freud, dan nama-nama besar yang ada di tulisan ini tentu seorang pemikir ulung yang tidak kita ragukan karyanya.

Namun, para penikmat gagasan mereka yang tak memiliki filter humanisme yang akan membuat semuanya semakin runyam.

Karena pada akhirnya, harus ada yang menyiapkan makan Adam Smith (tokoh ekonomi kapitalis) agar Adam Smith kenyang dan mampu berpikir serta berkata bahwa bekerja menyiapkan makanan itu tidak penting dalam roda ekonomi.

****

Jakarta, 5 Maret 2023

Terinspirasi dari buku “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith” oleh Katrine Marcal

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top