Tidak jarang, media sosial saya berdering dari teman-teman yang bertanya seputaran beasiswa maupun program pertukaran keluar negeri lainnya. Sebagian besar dari mereka saya jawab, bahkan saya tampung di satu grup khusus yang membahas mengenai satu topik bahasan yang sama untuk kemudian saya bimbing, sebagian kecil lainnya saya jawab ala kadarnya. Mungkin ada yang bertanya, mengapa disatu sisi saya getol mengarahkan dan membimbing, disatu sisi saya cenderung untuk menjawab seadanya? Jawaban saya akan sangat tergantung dari motif si penanya tersebut.
Banyak anak muda saat ini yang ingin sekali menginjakkan kakinya keluar negeri, mereka tidak segan-segan browsing segala kegiatan baik yang fully-funded, partially-funded hingga yang self-funded sekalipun. Di dalam prosesnya, banyak kemudian dari mereka yang saya temukan bias dalam meyusun motifnya. Contohnya, beberapa dari mereka ingin keluar negeri karena hanya ingin saja, titik. “Kak Indra, gimana sih caranya ke negeri X ?” atau “Bang Indra, saya mau ke negara Y, ada beasiswa kesana gak?” dan seterusnya. Mengapa hal ini kemudian saya anggap bias, karena motif dan tujuannya seringkali hanya untuk mengunjungi negara tersebut, sedangkan aspek ilmu dan kebermanfaatannya hanya merupakan selingan. Untuk yang semodel ini, saya sering sarankan untuk mengikuti kegiatan yang self-funded atau berlibur saja ke negara tersebut.
Kenapa saya sangat strict dengan hal yang seperti ini? Karena saya sendiri tidak pernah mencari beasiswa untuk pergi kesuatu negara, literally tidak pernah. Yang saya lakukan semasa saya S1 dulu adalah saya selalu ingin belajar akan suatu ilmu atau ihwal tertentu, lalu saya mencari di tempat mana saya bisa beajar dan mempelajarinya. Setelah itu, baru saya akses bagaimana cara meraihnya dan beasiswa merupakan salah satu cara untuk mewujudkannya. Bukan sebaliknya; saya ingin ke negara X lalu saya mulai mencari-cari tahu apa yang akan saya lakukan disana dan bagaimana cara saya pergi kesana. Logika yang terbalik ini akan mengantarkan kita kedalam keadaan bias dalam berilmu, dimana kita menempatkan ilmu tidak pada tataran tertinggi, namun hanya hiasan dan selingan. Saya membahas fenomena tersebut pada postingan saya disini dan ini.
Namun sebaliknya, jika kita meniatkan diri kita pada pencapaian ilmu terlebih dahulu dengan ikhlas, Insyaallah akan ada seribu jalan terbuka untuk meraihnya; salah satunya mungkin melalui beasiswa. Dulu, ketika saya kuliah dulu, saya senang sekali mencari ilmu yang tidak saya dapatkan di kampus, baik public speaking, leadership maupun agenda kebahasaan sesuai jurusan saya ataupun korupsi sebagai kajian penelitian saya. Apakah saya mencari beasiswa? Kebanyakan tidak. saya membayar sendiri (walaupun dibantu pihak kampus sebagian), namun saya tidak berharap bantuan. Tujuannya sederhana, saya akan berupaya mendapatkan ilmu itu sampai saya benar-benar tidak mampu meraihnya, dan kalau tidak mampu, berarti bukan rejeki saya. Saya ingat, pernah saya menjual buku-buku koleksi saya untuk agenda pelatihan kepemimpinan di luar kota, pernah juga sampai kehilangan tiket pesawat karena pesawat yang saya maksud ternyata bangkrut, juga pernah juga berhutang dengan teman karena ingin mempelajari suatu ilmu di kota lainnya, dst. Gagal berangkat karena kurang dana? Sudah tak terhitung jumlahnya. Namun, tujuan saya hanya satu: belajar. Selagi saya bisa berangkat, saya akan berangkat walaupun mengorbankan uang bulanan beserta beasiswa saya, namun ketika tidak, saya berpositif pikir bahwasanya itu memang yang terbaik buat saya.
Negara ataupun tujuan belajar benar-benar tidak pernah saya pikirkan pertama kali. Kalau ada sebuah pelajaran dan pelatihan yang bagus di sebuah kota atau negara, saya akan berpikir untuk kesana dengan tujuan belajar, kalau tidak, ya bukan rejeki. Banyak juga agenda yang saya ikuti bahkan berbayar mahal dan itu dilakukan di Kota Pontianak sendiri, kota dimana saya belajar, karena yang saya kejar ilmunya, bukan lokasi maupun tempatnya. Suatu malam ketika saya sedang berada di Kyoto sehabis melakukan presentasi, saya lebih memilih menghabiskan waktu di kamar dengan buku bacaan saya. Beberapa waktu yang lalu ketika sebelum ke Korea Selatan, saya ditanya salah satu senior program saya: “Kenapa pengen ke Korea Selatan?”, saya jawab “Saya ingin belajar menjadi delegasi resmi negara, bukan pengen ke Korea Selatan!” . Begitu pula dengan negara-negara lainnya, maupun kota lainnya, saya banyak menghabiskan waktu dengan berinteraksi bersama rekan sejawat dan membaca atau menulis. Jalan-jalan sekadarnya hanya sebagai bonus dan pelepas penat, setelah semua kewajiban saya terpenuhi.
Disini saya ingin mengajak adik-adikku dan teman-temanku yang saat ini mungkin sedang mengalami tensi yang tinggi untuk pergi ke suatu negara atau sebuah tempat karena melihat postingan temannya yang kebetulan sedang di luar negeri, untuk meluruskan lagi niatnya. Saya selalu percaya, hitungan matematis manusia tidak ada apa-apanya dengan kalkulasi Tuhan. Dengan kalkukasi manusia, maka tiket PP Indonesia-Australia beserta Visa dan akomodasi bisa berkisar 100 jutaan, namun dengan kalkulasi Tuhan, semua bisa menjadi gratis. Mungkin dengan logika kita, Indonesia-Jepang berkisar 50 jutaan, namun bagi Tuhan itu bukan perkara sulit. Apa intinya? Ikhlas dalam berilmu. Tuntutlah dan kejarlah ilmu, maka Tuhan dan alam akan membantumu. Buatlah ilmu yang akan kita kejar layaknya kita sedang beribadah untuk kemudian kita sebarkan dan berikan lagi ke orang lainnya, bukan dengan iming-iming lainnya. Bahwa hakikat ilmu teramat tinggi jika kita sandingkan dengan entitas kerdil lainnya seperti materi, pekerjaan, maupun prestise semata. Maka, untuk menjawab judul diatas, berhentilah mengejar beasiswa untuk sekadar menginjakkan kaki kesuatu tempat, namun kejarlah ilmu secara ikhlas, insyaallah beasiswa akan mengejarmu dan mengantarmu kemanapun engkau mau. Tempatkanlah beasiswa sebagai salah satu cara untuk meraih ilmu yang ingin kita kejar, bukan sebaliknya; mencari beasiswa untuk kemudian mencari-cari apa yang akan dilakukan di tempat tersebut. Terakhir, teruntuk kalian para pencari ilmu yang ikhlas, saya berdoa semoga Tuhan mempermudah langkah kalian dan beasiswa adalah salah satunya, amin. Wallahu a’lam bish-shawabi
Menanam padi, rumput akan ikut
Menanam rumput, padi kan luput
Beribadah mengejar ilmu, dunia ikut
Mengejar semata dunia, ilmu luput.
37 thoughts on “Berhenti mengejar beasiswa!”
👍👍👍
Terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca 🙂
Simple, easy to understanding, these all are motivating
Terima kasih supportnya, semoga bermanfaat 🙂
Highly motivating!
Thanks mate!🙏😊 semoga bermanfaat
Suke bacenye bang, benar sekali bang, sekarang pikiran menjadi semakin terbuka 🙂
Alhamdulillah, semoga bermanfaat 🙏😊
what a very open minded thought, thanks for sharing bg Indra!
Thanks Bu Dosen! Semoga bermanfaat ya 🙏😊
Ooohhh… jadi semua itu diawali dengan niat yang lurus ye bang.
Insyaallah begitu, semua dimulai dari niat,kan? 🙂
Terimakasih, tulisan yang menyadarkan bagi jiwa saya sendiri :)))
Semoga tulisannya bermanfaat 🙂
Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Ikhlas mencari ilmu… Itu kunci yang saya temukan pada tulisan mas. Thanks for sharing mas
Semoga tulisannya bermanfaat dan menginspirasi, ya. Terima kasih sudah mampir dan membaca 🙂
Terima kasih bang Indra, sangat menginspirasi.
Terima kasih sudah berkenan membaca. Semoga tulisannya bermanfaat, ya )
A great story with a good process. This is very motivate.
Thanks for visiting and reading this article. Hopefully, it will inspire as well as benefit you though. 🙂
Maacii dek Iin ❤
terus tanam Padi bang…
Terima kasih, Bung Farhad sudah berkunjung! 🙂
Membuka pikiran saya. Makasih sharingnya ka 👍🏻👍🏻👍🏻
Then… recalled back in time when I was thinking about scholarship. Since I do love graphic design, I ever talked to myself, “Kira-kira ilmu yang cocok dipelajari yg nantinya akan dikontribusikan ke berkahbarang.id dan pendidikan apa ya?”
This post is really motivating me to keep contributing to people in the first place.
Tulisan ini selalu bisa menjadi pelipur sedih, setiap kali saya usai bertemu dosen atau kawan semasa S1 yang menganggap bahwa melanjutkan pendidikan S2 hanyalah untuk urusan duniawi, materi, atau yang paling parah agar mendapat gelar saja.
Btw, Terima kasih sudah menelurkan pemikiran ini kak. Saya merasa tidak sendirian dengan adanya tulisan ini. Semoga setiap pemikiran yang kak indra tuliskan, menjadi amal jariyah kakak.
Terima kasih, Rosfatima!
Semoga dapat membuka pikiran kita tentang apa yang kita (seharusnya) pikirkan. Terimakasih sudah berkunjung 🙂
Mantap bang…
Terima kasih, semoga bermanfaat 🙂
MasyaALLAH,membantu saya menemukan kembali jalan yang sempat kabur kak, Jazakallah
Terima kasih, semoga bermanfaat.
Terima kasih sudah berkenan membaca 🙂
Mantap bro. Boleh share ya?
Silahkan, Mas 🙂
Allah,
Alhamdulillah, Allah mengingatkan melalui perantara-Nya.
Terima kasih sudah menulis ini, ya Bang Indra. Semoga kesehatan dan keberkahan selalu menyertai.
Aamiin… Barakallah
Terima kasih banyak doanya! Juga, terima kasih sudah membaca!
Doa yang sama buat Mas Azis!
Amat menyentuh dan saya setuju. Makasih ilmunya. 😊
Terima kasih sudah mampir 🙂