Indra Dwi Prasetyo

Berdiri di bahu raksasa

Guru: Bekerja dengan bahu

Salah satu adagium yang paling populer dari seorang Isaac Newton adalah ketika ia menulis: “Jika aku sudah melihat jauh kedepan, itu karena aku berdiri di bahunya raksasa.” Tulisan itu dituangkannya dalam suratnya kepada Robert Hooke pada tahun 1679, seorang ilmuwan dan juga seorang filsuf, untuk menunjukan rasa hormatnya kepada Robert atas pemikiran-pemikirannya.

Tidak hanya kepada Robert, ucapan terima kasihnya juga dia berikan kepada gurunya yang lain, Rene Descartes, seorang filsuf ulung. Newton sadar, apa yang ia lakukan tidak akan bisa sejauh itu jika tanpa pemikiran-pemikiran orang-orang tersebut.

Lebih lama dari itu, Vicar Robert Burton, seorang sarjana dari Oxford University pada tahun 1621 pernah pula berkata dengan narasi yang serupa, bahwa: “Seorang kerdil yang berdiri di atas bahunya seorang raksasa dapat melihat lebih jauh daripada raksasa itu sendiri.” Lalu dilanjutkan oleh sastrawan George Herbert pada tahun 1651 yang isinya: “Seorang kerdil yang berdiri di atas bahunya raksasa dapat melihat dua kali lebih jauh”.Narasi-narasi serupa terus dilanjutlan oleh, baik penyair maupun ilmuwan setelahnya untuk menghargai jasa para guru-guru mereka.

Agaknya, apa yang dilakukan oleh Newton dan para pemikir-pemikir lainnya benar-benar menunjukkan bahwa menjadi diri kita saat ini, tidak bisa dilepaskan dari buah pikir dan keringat guru-guru kita. Baik mereka, yang mengajar kita secara formal maupun para mentor-mentor kita yang mendidik kita secara informal.

Secara formal, kita mendapatkan ilmu-ilmu dan cara berpikir yang disusun dengan rapi oleh para guru kita. Sedari kita TK dengan huruf dan warnanya, SD dengan ilmu-ilmu sederhana hingga Perguruan Tinggi dengan narasi-narasi yang lebih kompleks. Semua itu tidak akan terjadi jika tidak adanya “batu bata” pemikiran yang disusun oleh para guru dalam hidup kita.

Maka, agaknya lucu jika ada yang berkata bahwa mereka bisa ada diposisi mereka saat ini namun menihilkan peranan guru-guru mereka sendiri. Naif kiranya jika ada yang menganggap apa yang didapatkannya hari ini bukan merupakan sumbangsih pemikiran dan tenaga dari guru-gurunya.

Begitupula dengan orang-orang yang mengajarkan ilmu kepada kita secara informal; teman, tetangga, hingga orang yang tidak kita kenal namun karenanya kita kemudian terinspirasi. Pola-pola semacam ini kemudian semakin jamak terjadi di dunia yang serba terhubung saat ini, dimana  kita bisa membaca tulisan dan berinteraksi dengan orang lain yang tidak pernah kita temui sebelumnya dengan adanya teknologi.

Berkaca pada hal di atas, sudah sebaiknya kita tidak merasa sombong dengan apa yang kita punya. Karena bagaimanapun, kita adalah seorang yang kerdil/kurcaci yang selama ini sedang berdiri di atas bahu-bahu guru-guru kita. Jika tanpa pinjaman bahu mereka, taklah mungkin pandangan kita bisa sejauh ini dalam melihat.

Hal serupa juga berlaku untuk saya teman-teman guru saya, bahwa tugas kita tidak sekadar berhadapan dengan siswa di depan kelas. Namun, lebih dari itu. Kita sedang berusaha untuk memberikan bahu terbaik dan tertinggi kita kepada para murid-murid kita. Bahu terbaik tentu terlahir dari bahu yang sudah terlatih, mampu menahan beban berat dan fkelsibel. Bukan bahu yang mudah terkilir, tidak bisa ditapaki dan mudah membuat orang lain jatuh di atasnya.

Karena pada akhirnya, ini adalah tentang bagaimana bahu-bahu kita dapat berperan bagi orang lain. Bagi kita sebagai guru, tidak layak untuk kemudian menjadi sombong dengan apa yang kita peroleh dan lakukan saat ini, Untuk sang Guru, tugas kita lebih berat. Menyediakan bahu yang kuat untuk loncatan lebih tinggi bagi sang siswa.

 

Share now
Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on email
Related articles

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top