Beberapa waktu yang lalu, jagat tanah air kembali diramaikan dengan pemberitaan seorang ketua BEM UI yang memberi kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo. Fenomena ini tak pelak menimbulkan reaksi di tengah masyarakat, mulai dari mereka yang mengritik hingga tak jarang yang menganggapnya heroik. Namun, ditengah perbincangan-perbincangan yang substansial, banyak pula yang mengangkat ini dari sudut pandang yang superficial–dasar dan tidak esensial, dari mulai mata kuliah si Zadit hingga dugaan afiliansi salah satu partai di Indonesia. Lalu, bagaimana kita selaku anak muda melihat persoalan ini?
Ihwal pengangkatan kartu kuning ini dimulai ketika Presiden Joko menghadiri Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia . Zaadit yang menghadiri acara selaku ketua BEM UI seketika meniupkan peluit panjang dan kartu kuning di tengah-tengah barisan peserta yang hadir. Tak ayal, Ia seketika diamankan oleh Paspampres karena dianggap mengganggu ketertiban acara.
Lalu, apakah yang dilakukan oleh Zaadit dapat dibenarkan dalam kacamata anak muda? Saya pribadi menganggap tidak ada yang patut dipersoalkan dalam melihat tindakan Zaadit. Kalaupun ada yang perlu dipermasalahkan, arah diskusi hanya akan berkisar pada momen yang dianggap sakral dan penentuan waktu yang dianggap tidak pas. Selebihnya, saya merasa tidak ada yang salah dari apa yang Zaadit lakukan selaku ketua BEM.
Setelah melakukan aksinya, Ia dengan beberapa rekanan di BEM mengadakan konferensi pers dimana ia meluruskan maksud dan tujuannya dalam melakukan hal tersebut. Setidaknya, ada tiga poin yang ingin disuarakan Zaadit didepan Presiden: gizi buruk di Asmat, dwifungsi TNI/Polri dan draf peraturan baru Organisasi Mahasiswa (Ormawa), dan peristiwa kartu kuning nampaknya hanya dilakukan sebagai simbol akan ada suatu hal yang tidak berjalan baik di pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Terlepas dari apapun motifnya, walaupun sempat diklarifiasi melalui tayangan Mata Najwa edisi khusus, apa yang dilakukan Zaadit dalam kacamata saya adalah sebuah hal yang perlu diapresiasi. Mengenai isu yang disuarakan, walaupun terkesan otonomis dan regional, namun itu tidak menjadikan apa yang disuarakan oleh Zaadit dan rekan-rekan BEM UI sebagai sebuah isu pepesan kosong.
Apa yang disuarakan oleh teman-teman BEM UI dapat dengan mudah kita cari informasi-infomasi yang mengulasnya, bahwa 3 isu yang disuarakan memang benar adanya. Sungguhpun itu masih dapat diperdebatkan, setidaknya Zaadit menjadi seseorang yang lantang menyuarakannya secara terbuka; di depan Presiden joko Widodo. Kalau saja bukan Zaadit, apa mungkin kesempatan yang sama dialami oleh teman-teman Indonesia dari kampus-kampus di daerah selain Jakarta? Terlebih mereka, mahasiswa, yang berada di daerah-daerah dan kota-kota kecil? Kalaupun ada, sangatlah kecil kemungkinanya. Maka, fenomena “kartu kuning’ itu sendiri merupakan sebuah “keberhasilan” mahasiswa untuk dapat menyuarakan ide dan aspirasinya secara lebih kreatif dengan tanpa melalui demonstrasi.
Lagipula, yang dilakukan Zaadit merupakan hak Ia sebagai warga negara untuk menyuarakan aspirasinya ke pucuk pimpinan negara. Walaupun bisa saja ia menyampaikan aspirasinya melalui perwakilannya di DPR secara normatif, namun agaknya banyak anak muda yang menganggap ini sia-sia. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada DPR cukup redah, sehingga mengupayakan proses aspirasi melalui perwakilan di parlemen dianggap sebagai sesuatu yang tidak efektif.
Komentar negatif juga tidak kalah banyaknya berseliweran di media sosial saya. Namun, banyak diantaranya yang tidak substantif, walau banyak juga yang mengarah ke pokok persoalan. Misalnya, mereka yang mengatakan Zaadit sebagai salah satu partisan salah satu partai di Indonesia, misalnya. Lalu saya bertanya, kalau saja memang benar Zaadit merupakan salah satu partisan salah satu partai (walaupun hal ini sudah di klarifikasinya tidak benar di Mata Najwa), memangnya apa salahnya? Apa salahnya anak muda yang mengikuti arah perjuangan salah satu partai kemudian bersuara? Apa salahnya anak muda yang terinspirasi dari arah pergerakan sebuah partai?
Sependek pengetahuan saya, yang tidak dibenarkan adalah jika sebuah partai sebuah entitas politik secara terang benderang masuk kedalam kampus untuk melakukan infiltrasi. Namun, selama itu hanya terjadi di dalam ruang pikir sebuah mahasiswa, saya pribadi lebih menyebutnya ideologis non- partisan, atau sebuah langkah pikir yang terilhami atas suatu perjuangan partai politik tanpa kita harus menjadi bagian di dalamnya.
Tidak hanya itu, salah satu berita yang pula tersebar adalah mata kuliah Zaadit, nilai kuliah dst. yang kemudian di angkat ke publik. Apa hubungannya kritik dan mata kuliah? Apa hubungannya tugas kuliah dan kebebasan berekspresi? Apakah mereka yang boleh menyuarakan aspirasinya hanya mereka yang bernilai tinggi atau kuliahnya cemerlang? Tentu saja tidak. Setiap warga negara tentu memiliki haknya tanpa perlu kita melihat siapa dan apa latar belakang si orang tersebut.
Fenomena Zaadit sebenarnya sedang menyadarkan kita bahwa banyak dari kita yang menganggap kritikan secara parsial sebagai sebuah cemoohan dan berartikulasi negatif. Padahal, kritikan adalah upaya resposif seorang individu terhadap individu lainnya, yang berarti ada proses perbaikan yang diinginkan. Penting untuk diketahui bahwa kritik tidak dapat lahir begitu saja, ia mesti melewati beberapa tahapan berpikir hingga dapat kita utarakan kepada objek bicara. Ini menandakan bahwa orang yang melakukan kritik adalah mereka yang rela untuk menghabiskan sebagian waktunya bahkan untuk memikirkan mereka yang dikritik. Bukankah ini suatu yang romantis?
Memang benar, paska Pemilihan Presiden terakhir, masyarakat Indonesia seolah terbelah menjadi dua kubu besar. Mereka yang pro dianggap berada dipihak A, dan mereka yang melakukan kritik dianggap berada di kubu B. Hal ini sejatinya akan menjadi duri di dalam proses berdemokrasi itu sendiri, dimana sebuah kritik dan pujian memang seharusnya diharapkan hadir dari masyarakat sebagai warga negara. Kita tidak dapat membiarkan polarisasi politik semacam ini terus-menerus menjadi ajang kita untuk tidak berbuat adil kepada diri kita sendiri. Memilih bahkan mengidolakan tokoh politik tertentu tak membuat kita seharusnya miskin kritik, begitu pula sebaliknya. Berlainan pandang terhadap sebuah entitas politik tertentu tidak lalu membuat kita rendah akan pujian. Maka, letakanlah suatu pada porsinya. Silahkan kritik jika harus dikritik, dan silahkan puji jika itu memang harus dilakukan; karena pujian dan kritikan adalah dua tanda cinta dengan nada yang berbeda.