Sebagai makhluk sosial, seringkali kita mendengar berkataan dari teman-teman kita yang mengatakan: “janganlah berpura-pura dengan diri sendiri, be yourself!”. Kalimat ini teramat sering saya dengar sampai akhirnya saya mulai ragu terhadap adagium tersebut, apakah memang pura-pura itu berkonotasi negatif?
Sembari terus berpikir sambil lalu, saya akhirnya bertemu dengan seseorang, sebut saja Patrick. Ia merupakan mahasiswa yang biasa saja dalam karir akademik, namun ia memilki passion yang tinggi di dunia bisnis. Ia tidak pernah mau menyebut dirinya mahasiswa ketika duduk di bangku kuliah: ia menyebutnya dirinya pengusaha.
Setidaknya itu yang saya ingat mengenai Patrick di awal pertemuan. Beberapa tahun berlalu, ketika berjumpa lagi dengannya, saya sedikit terkejut ketika ia sudah memiliki usaha beromset ratusan juta paska lulus kuliah sarjana 1 diusianya yang masing jauh dibawah 25 tahun.
Dalam hati saya berpikir: “bagaimana bisa?”
Namun, pikiran saya tiba-tiba terhenti mengingat pertemuan pertama kali saya dengannya dulu yang memang bercita-cita menjadi pengusaha sukses, and now he deserves it!
Dari situ saya mencoba untuk merekonstruksi cara pikir saya tentang konsep berpura-pura, bahwa berpura-pura tidak selamanya berkonotasi negatif, namun sebaliknya, ia memiliki sebuah kekuatan.
“Lalu, bagaimana bisa berpura-pura menjadi salah satu kekuatan?”
Manusia terlahir dengan daya pikir yang luar biasa. Nyaris semua orang tahu akan hal tersebut, namun banyak yang abai bahwa daya pikir manusia dapat dirubah. Manusia yang memiliki pemikiran tertentu hari ini, bisa jadi memiliki pemikiran yang berbeda keesokan harinya.
Berabad yang lalu, Budha sudah berkata bahwa: “Kita adalah apa yang kita pikirkan…dengan pikiran, kita menjadikan dunia”
Maka teramat jelas bahwa segala sesuatu bermula dari pikiran. Pikiran yang dilakukan secara kontinu akan menjadi mesin afirmatif, semacam remote control atas apa yang seharusnya kita lakukan. Seseorang yang berpikiran positif secara kontinu, maka segala kegiatannya akan dilakukan dengan semangat positif, begitupula sebaliknya.
hal yang sama juga terjadi terhadap kaidah berpura-pura. Menjadi manusia yang berpura-pura mendidik alam pikir kita untuk meyakini bahwa kita adalah apa yang kita yakini adalah kita. Sederhananya, jika kita berpikir kita akan menjadi seorang pengusaha, maka dengan mulai berpura-pura menganggap diri kita seorang pengusaha sukses, seluruh anggota tubuh yang lain akan menyesuaikan diri untuk menjadi pengusaha sukses. Setidaknya itu yang terjadi kepada teman saya, Patrick.
Berpura-pura menjadi sosok yang ingin kita raih di masa depan akan menstimulasi alam pikir kita untuk melakukan apa-apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkannya. Contoh, ketika saya dulu SMA, saya ingin sekali melanjutkan studi saya keluar negeri. Apa yang saya lakukan? Saya berpura-pura bahwa saya adalah siswa yang cemerlang. Hal itu setidaknya terjadi hingga masa S1 saya. Apakah kemudian saya menjadi mahasiswa yang cemerlang? Tidak juga, namun saya selalu berpura-pura untuk itu.
Saya tahu, bahwa syarat untuk menjadi mahasiswa cemerlang adalah dengan meraih IPK bagus, maka saya berpura-pura pintar. Pura-pura itu saya ejawantah melalui belajar seperti orang pintar, kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, ketika saya melihat salah satu senior saya yang cemerlang begitu aktif diberbagai gerakan, maka saya harus berpura-pura menjadi dirinya agar terlihat cemerlang, dengan juga mengikuti banyak kegiatan positif.
Berpura-pura juga terjadi dalam banyak variabel lainnya, mulai dari cara hidup, buku bacaan, cara bekerja, bahkan dalam titik ekstrim adalah cara berpikir. Saya selalu berpura-pura untuk menjadi seseorang yang saya kagumi dengan mengikuti cara mereka menjalani hidup, apa yang dipikirkannya, apa yang dibacanya, dan bagaimana cara mereka bersikap.
Apakah pura-pura saja cukup? Sayangnya tidak.
Berpura-pura saja tanpa tindakan tidak akan menghasilkan apa-apa, melainkan sebuah kesia-siaan. Misal, ketika seseorang ingin menjadi seorang presiden, maka ia berpura-pura untuk menjadi seorang presiden. Namun, apa yang dilakukannya jauh dari apa yang diharapkan terjadi pada seorang presiden. Ia bekerja dengan lambat, malas membaca, sibuk bergumul dengan ponsel genggamnya daripada berlatih komunikasi, serta malas menyikapi berita yang berkembang disekitarnya.
Maka, berpura-pura saja tidak cukup. Ia memerlukan sebuah eksekusi dari setiap pura-pura yang kita perbuat. Buat kalian yang ingin jadi penulis hebat, berpura-puralah seolah kalian adalah Tere Liye atau Pidi Baiq, lalu lakukan apa yang mereka lakukan. Bagi yang ingin menjadi seorang pemimpin besar, anggaplah diri kalian adalah barack Obama atau Soekarno misalnya, lalu bacalah apa yang mereka baca, bagaimana mereka berpolitik dan bagaimana mereka bertingkah laku kepada sesama manusia lainnya.
Pada akhirnya, kalimat “jangan berpura-pura, be yourself!” memang akan kembali disikapi secara bijak sebagai sebuah refleksi tentang bagaimana cara kita memaknainya. Bagi mereka yang berpura-pura namun nihil tidakan, mereka adalah bagian dari orang yang panjang akan angan. Namun, bagi mereka yang berpura-pura untuk kemudian dijadikan pijakan afirmatif dalam alam pikirnya, agar kemudian dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka mewujudkan apa yang ia pura-purakan hanya tentang masalah waktu.
Lalu, sudah berpura-pura menjadi suami yang baik belom, Mblo?